Om Swastyastu Blog ini bisa dibuka di Twitter,Facebook,Youtube,Google+ dan lain sebagainya,... PURA RANGET

Kamis, 10 September 2015

KEAGUNGAN GAYATRI MANTRAM DAN MANFAATNYA UNTUK HIDUP INI

Om Bhur Bhuwah Swah,
Tat Sawitur Warenyam,
Bhargo Dewasya Dhimahi,
Dhiyo Yo Nah Pracodayat.
artinya:
O
m cahaya bersinar yang telah melahirkan semua loka atau dunia kesadaran, Tuhan yang muncul melalui sinarnya matahari sinarilah budi kami
.
Inilah makna dari mantra yang memiliki semua bija-mantra yang kesemuanya melambangkan dari kekuasaan Brahman dalam cahaya suciNya. Om melambangkan Tuhan, Bhur mewakili bumi, Bhuvah melingkupi semua bagian dari daerahnya dewata-dewata dan setengah dewata sampai kepada matahari. Sedangkan Svah mewakili dimensi alam ketiga yang diketahui dengan nama svargaloka dan semua loka-loka yang cemerlang dia atasnya.
Gayatri mantra ini mempunyai getaran sangat kuat sehingga seseorang dalam pencaran rohaninya apabila tulus mengucapkan Gayatri mantra ini akan membawa
kepada pencerahan bathin.Gayatri mantram pada dasarnya bekerja secara otomatis dalam kesadaran rohani manusia. Ini di sebabkan mantram tersebut mewakili dari setiap elemen dasar
manusia dan alam.
Manusia memiliki tiga bagian badan yaitu badan fisik, badan energy (aura atau cahaya) dan badan roh (atma) ketiga bagian badan ini saling terkait satu sama
lainnya. Badan fisik berhubungan dengan napas dan prana, dan badan roh berhubungan dengan kesadaran Brahman
Gayatri mantram yang diakhiri dengan kata pracodayat, adalah ibunya dari empat veda (Rgveda, Yayurveda, Samaveda, Atharwaveda) dan yang mensucikan semua dosa para dvija. Oleha karena itu saya selalu mengucapkan dan memuja mantram tersebut. Gayatri mantram ini memberikan umur panjang, prana dan keturunan yang baik, pelindung binatang, pemberi kemasyuran, pemberi kekayaan, dan memberi cahaya yang sempurna. Oh Tuhan berikanlah jalan moksa padaku.
Mantra tersebut adalah mantra dari Atharwaveda. Di situ dijelaskan Gayatri mantra. Gayatri mantram juga disebut dengan guru mantra Savita mantra, dan Maha mantra Gayatri mantra terdapat dalam veda dan mantra ini adalah paling suci diantara mantra. Veda, Upanisad, purana dan Bhagawad gita, selalu mengatakan bahwa gayatri mantra paling suci dan penting, mantra ini perlu dan harus diucapkan setiap orang yang ingin mendapatakan kebahagiaan dunia dan moksa, begitu pentingnya gayatri mantra sehingga tuhan menurunkan mantra dalam atharwaveda untuk penjelasan gayatri.

Dalam mantra di atas dijelaskna bahwa mantra yang berakhir dengan kata “Prachodayat” yang berarti Tuhan Selalu memberikan KaruniaNYA dan selalu melindungi. Jadi mantra denagn akhir Prachodayat yang terdapat dalam Gayatri mantra adalah Mantra Pokok, dalam seluruh Weda. Untuk itu ditetapkan bahwa Gaytri Mantram adalah ibu ke empat Weda, dimana seluruh Weda itu berisikan atau lahir untuk memberikan penjelasan tentang Gayatri Mantram. Hal demikian juga terdapat dalam cerita Ramayana. Rsi Walmiki mengambil Gaytri Mantram dari Weda terdapat 24 aksara Gayatri Mantram. Ke 24 aksara tersebut dijelaskan dalam keseluruhan cerita Ramayana.

Dalam mantram tersebut dijelaskan bahwa “Jika seseorang selalu mengucapkan Gaytri Mantarm dengan baik segala keinginan yang baik akan selalu dipenuhi.” Hal tersebut terbukti dengan adanya kata “Warhadah” yang berarti seluruh keinginan baik bisa dipenuhi melalui dengan Gaytri Mantram tersebut. Gayatri mantram juga menjadi penebus dosa-dosa seseorang yang pernah dilakukan dengan sadar maupun tidak. Sehingga untuk menebus semua dosa bisa dengan berjapa Gaytari Mantram.

Demikian juga para Dwija akan menjadi suci dengan ucapan Gayatri Mantram. Dwija juga berarti lahir yang kedua kali, yaitu pertama dari Ibu dan yang kedua kali dari guru. Karena sang guru “Melahirkan” kita dengan memberikan kita pengetahuan untuk mencapai Moksa. Lebih lanjut dijelaskan jika seseorang setiap hari mengucapkan Gayatri Mantram, maka dia akan mendapatkan umur panjang, Prana yang sehat, keturunan yang cerdas dan sehat, tidak akan mendapat gangguan dari mahluk lain, mendapat nama baik (berkenalan dalam masyarakat), diberkati kekayaan, dan selalu akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirnya kan mendapatkan Moksa.
Sri Krishna di dalam Bhagavat-Gita bersabda kepada Sri Arjuna, bahwasanya diantara berbagai mantra, maka Gayatri Mantra adalah yang tertinggi sifatnya dan Beliau sendiri adalah pengejawantahan dari esensi mantra ini.  Ada dua versi mantra Gayatri yang paling populer diantara berbagai jenis mantra-mantra Gayatri.  Yang pertama adalah seperti berikut ini : 
OM
BHUR, OM BWAH, OM SWAH,
Om Tat Savetur Varenyam
 Bhargo Devasya Dimahi,
Dhiyo Yonah Prachodayat 
Apakah mantra Gayatri ini sebenarnya dan apakah manfaatnya, sehingga sedemikian agungnya mantra ini?  Konon Gayatri sendiri yang adalah manifestasi dari lima bentuk bunda alam-semesta ini bersifat maha prakriti (Maya, ilusi Ilahi).  Kelima dewi ini adalah Saraswati-Laksmi-Durga-Uma dan Kali, yang membaur menjadi satu bentuk dominan di seluruh alam semesta ini, baik di alam buana-alit maupun buana-agung.  Gayatri lahir dari Sang Pencipta Brahma pada awal penciptaan dunia ini yang tersirat di Veda sebagai  mantra yang bersifat universal, yaitu suatu bentuk Pengagungan dari Yang Maha Kuasa dalam bentuk seorang Bunda alam-semesta itu sendiri dengan kelima bentuk kewajibanNya.  Itulah sebabnya walaupun memiliki hanya satu raga, Beliau berkepala kelima dewi di atas tersebut.  Dewi Saraswati adalah lambang dari ilmu pengetahuan, sastra, agama, literatur, keindahan dan seni budaya.  Tanpa Beliau, manusia hidup seperti ibaratnya fauna yang tidak berbudi-pekerti.  Dewi Laksmi adalah lambang dari kejayaan, kekuatan, kemakmuran dan sebagainya. Beliau adalah shaktinya Dewa Vishnu Sang Pemelihara alam semesta ini, sedangkan  Dewi Saraswati adalah shaktinya Dewa Brahma Sang Pencipta.  Durga adalah berkuasa di atas segala bentuk kebatilan,  asuras dan bentuk-bentuk yang bersifat iblis; barang siapa memuja Beliau dipastikan akan dijauhkan dari segala mara-bahaya yang ditimbulkan oleh berbagai asura ini.  Di Indonesia ada konsep yang salah mengenai Durga ini, Beliau dianggap sebagai ratunya para setan-dedemit, padahal Beliau ini menguasai mereka dan tanpa Beliau semua unsur iblis ini akan meraja-lela tidak terkendali.  Di India dan di seluruh dunia Beliau adalah Dewi yang paling dipuja demi mendapatkan imbalan-imbalan duniawi, disamping Laksmi dan Dewa Ganeshya. 
Dewi Uma atau Prathivi, atau Pertiwi adalah juga isteri atau shakti dari Shiva Mahadewa. Beliau adalah ibu Pertiwi ini merupakan Tuhan insan Hindu yang pertama-tama harus dipuja.  Sedangkan Kali, lahir dari Shiva itu sendiri dan akhirnya “membunuh” Shiva dengan kekuatannya. Sebuah simbolisasi dari Sang Waktu (Kala dan Kali), yang maha dominan dan abadi. Dewa-dewi boleh berakhir tugas, tetapi tidak Sang Kala ataupun Sang Kali.  Secara spiritual Gayatri dianggap hadir selama 9 bulan 10 hari di dalam rahim seorang ibu yang sedang mengandung, dan selama itu pula sang jabang bayi belajar akan hakikat Tuhan Yang Maha esa dengan segala fenomenaNya baik di alam  bumi ini maupun di buana-agung dimana Beliau senantiasa maha hadir dimana saja.  Sewaktu seorang jabang bayi lahir, ia menangis pertama kali, dan setiap bayi selalu merneriakkan uah, uah.  Menurut para ahli spiritual Hindu, kata pertama yang keluar dari mulut sang bayi, bangsa apapun ia dan lahir dimanapun, ia adalah : Aum, Aum, Aum, karena tiba-tiba sang jabang bayi kehilangan Gayatri. Oleh karena itu sewaktu dibabtiskan beberapa hari kemudian, versi pertama gayatri ini oleh sang ayah akan dimanterakan di telinga sang jabang bayi, agar ia sadar kembali akan hakikat kehidupannya di dunia ini.  Sayang sekali hampir semua ayah tidak sadar akan makna mantra ini, dan hampir semua pendeta yang melakukan upacara untuk si bayi ini lebih terbius dengan pembayaran yang akan diterimanya.  Lambat-laun hilanglah hakikat sesungguhnya dari mantra yang teramat sakral ini.  Sesungguhnya mantra  yang utama ini diperuntukkan demi majunya jalan spiritual seseorang dan bukan untuk mendapatkan pahala-pahala seperti keselamatan, rezeki dan kekayaan.  Dengan mengulang-ulang mantra ini seseorang akan dibersihkan dari berbagai kekotoran duniawinya, namun itu baru bisa terjadi seandainya pemahaman seseorang akan mantra ini sempurna.  Kalau hanya mengulang-ulang ibarat burung beo, maka yang didapatkannya hanyalah kebodohan belaka.  Pemahaman yang baik akan mantra ini akan mengungkap Sang Jati Diri yang bersemayam di dalam diri kita melalui dhyana yang berkesinambungan dan tanpa pamrih.  Dan dhyana ini seharusnya dibukakan oleh seorang guru yang telah berstatus dwijati dan non-pamrih  dalam segala hal.  Pada saat seseorang berguru, inilah mantra Gayatri versi kedua diberikan kepadanya secara spiritual, dan ini disebutkan kelahiran kembali (kedua kalinya).  Versi kedua akan kami utarakan pada keterangan-keterangan berikutnya.  Biasanya untuk mendapatkan jalan dhyana ini seseorang  akan diminta untuk menyiapkan dirinya menjadi vegetarian total, dan bersikap total ahimsa dan non-pamrih dalam segala hal, walaupun hidup secara duniawi secara wajar-wajar saja. 
Mantra ini disebut juga dengan nama Savitri Mantra, karena sebenarnya didedikasikan ke seorang dewa yang bernama Savitr. Ada juga sebutan Savitri-gayatri di buku-buku kuno, dan mantra ini ditujukan pada zaman tersebut pada Dewa Surya secara kaidah-kaidah yang terdapat di dalam Veda, dan hal ini juga disebut sebagai Gayatri. Kaidah ini disebut: 
“Om Tat-Savitur-Varenyam
Bhargo Devasya Dhimahi
Dhiyo yo Nah Pracodayat” 
Konon maha mantra ini diturunkan pertama kalinya kepada manusia di bumi ini kepada Resi Visvamitra yang agung di zaman yang teramat silam.  Keseluruhan mantra ini termuat dalam mandala ketiga dari Reg Veda.  Mantra yang sama ini juga hadir Sukla Yajurveda dan Krishna Yajurveda. Di Bhagavat-Gita Sri Krishna bersabda bahwasanya cahaya yang meliputi surya dan chandra adalah CahayaNya semata, jadi menurut para kaum suci, ini berarti Mantra  Gayatri adalah mantra pencerahan akan hakikat Yang Maha Hakiki. 
Om  Bhur  berarti ….Wahai Yang Maha Esa, Dikaulah Sang Bhumi.
Om Bwah berarti ….Wahai Yang Maha Esa, Dikaulah Alam-Semesta.
Om Svah berarti ….Wahai Yang Maha Esa, Dikaulah  Kehampaan yang menyelimuti bumi dan alam semesta ini. 
Sedangkan tiga baris mantra di atas berarti:
            “Kami bersemedi ke arah Cahaya Ketuhanan Sang Surya, semoga cahaya surgawi ini menerangi aliran pikiran yang ada di dalam budhi (intelek) kami.” 
Biasanya di India mantra ini disertai dengan  japa pranava  dan  Vyahrti-S.  Bagi kaum Hindu, pemujaan sehari-hari mengharuskan japa ini (sandhya-karma) agar pikiran selalau berpikir akan hal-hal yang bersifat jernih. Di Manusmrti 102 tertulis : ”Membaca japa ini di pagi hari sambil berdiri akan menghilangkan semua dosa yang disandang selama malam harinya, dan dengan berjapa di malam hari, maka semua dosa dipagi harinya akan sirna seketika”.  Itulah sebabnya kedua waktu ini harus dipergunakan untuk mengingatNya dan sekaligus menyadarkan diri kita sendiri dengan maha mantra ini, bukan hanya dijapakan pada waktu berkunjung ke kuil atau ke pura saja. 
Pada zaman ini Gayatri-Mantra telah sedemikian populernya diseluruh dunia sehingga selalu berkumandang dalam bentuk ratusan versi lagu, japa dan puja-puji dalam berbagai dialog yang aneh-aneh.  Ada sementara  resi mengatakan pranava “Om Bhur-Bvah-Svah” boleh ditambahkan atau tidakpun tidak apa-apa dalam setiap pemujaan, namun rasanya tidak akan berarti kalau tidak disertakan. Ada dua sandhya dalam sehari. Kata Sandhya berarti titik penghubung antara pagi dan malam. Dengan demikian sandhya yang pertama  adalah subuh dan yang kedua adalah senja hari.  Pemujaan pada pagi hari sekitar jam 4.30 s/d  jam 5 pagi disebut Brahma-mahurta dan di sore hari sebaiknya pukul 6 s/d 7 sore.  Setelah Islam masuk ke India, banyak orang Hindu menambahkan japa dan sembahyang pada siang hari, padahal itu tidak dianjurkan dan juga tidak dilarang. 
Di masa lalu pemujaan pagi hari sambil berdiri dilakukan menghadap ke arah Timur ke Surya dan pada malam hari ke arah Barat, dan sambil memuja,  seseorang akan meletakkan air di kedua tangannya yang terkatub, dan pada akhir ucapan mantranya air tersebut dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, ini disebut Arghya-Pradana.  Pada saat mengakhiri mantra ini, sang pemuja akan mengucapkan :”Surya adalah Sang Brahman (Asavidityo Brahma)”, kemudian ia akan melaksanakan atma-pradaksina, yaitu memutarkan badannya kearah kanan, ini mengisyaratkan bahwa sang pemuja dalam baktinya mengikuti arah Sang Surya dan dharmanya.  Sekaligus berarti ia akan selalu berada dalam naungan dan tuntunan Sang Atman, Sang Jati Diri yang raganya sendiri.  Pada masa tersebut Gayatri-Mantra diucapkan 10 kali pada setiap sandhya, pada saat ini sudah bebas, walaupun konon mantra ini tidak boleh diucapkan lagi setelah senja lewat.  Saat ini aturan inipun sudah terkesan bebas. 
Dengan mengucapkan Gayatri mantra kita sebenarnya memohon agar cahayaNya menerangi dan membebaskan kita  semua dari kebatilan yang selalu mengganggu kita sepanjang hari terus-menerus tanpa henti dalam bentuk godaan-godaan duniawi yang tidak ada habis-habisnya ini. 
Ribuan tahun telah  silam semenjak hadirnya berbagai Veda, kemudian muncullah berbagai Sutras dan kemudian hadirlah berbagai pengertian dan penghayatan akan filosif dan ritual yang disebut agama-agama yang berorientasi ke pemujaan Vishnu, Shiva dan Shakti (Durga).  Setiap agama ini menyatakan bahwasanya Gayatri adalah miliknya, dan puja ini ditujukan kepada masing-masing Ishta-dewatanya.  Kemudian berkembanglah konsep Tuhan sebagai Bunda alam-semesta ribuan tahun lalu, dan hadirlah Dewi Gayatri seperti yang kita kenal sekarang ini.  Banyak yang berpendapat dengan melantunkan Gayatri maka seluruh Veda-Veda telah dilantunkan olehnya.  Kemudian mantra yang dianggap teramat sakti ini dipercayai sebagai mantra pembawa proteksi diri segala rintangan dan halangan, itulah sebabnya Gayatri mantra juga disebut sebagai “Mantra yang melindungi seseorang yang melantunkannya”. 
Kaum Hindu di India percaya bahwa sekiranya timbul kendala atau firasat buruk pada seseorang dikala melakukan suatu usaha atau proyek tertentu, orang tersebut harus duduk berjapa Gayatri-mantra ini sebanyak 11 kali, dan seandainya masih mendapatkan firasat buruk maka dianjurkan mengulangnya sebanyak 16 kali, sesudah itu tidak akan ada aral melintang lagi. 
Di India, seorang anak laki-laki diinisiasi dengan mantra Gayatri sewaktu ia masih berusia muda, dan upacara ini disebut Upanayana yang dihadiri dan diselenggarakan oleh kepala rumah tangga dan pendeta keluarga. Upacara ini di berbagai literatur Vedik disebut gayatri-diksa.  Dengan menjalani upacara ini seorang anak laki-laki diinisiasi menjadi seorang penyandang Hindhu Dharma.  Manu, manusia pertama menganjurkan pendiksaan ini seperti berikut; Usia 5 tahun bagi brahmana, 6 tahun bagi kshtriya, dan 8 tahun bagi seorang vaishya, maksimum usia-usia ini secara masing-masing kategori adalah 16, 22 dan 24 tahun.  Biasanya anak wanita tidak didiksa, karena diksa tersebut akan berlangsung sewaktu ia menikah nanti.  Bagi kaum sudra tidak disebutkan pendiksaan  ini.  tetapi di India masa kini banyak kriteria tersebut di atas  yang telah berubah, kaum sudra sudah boleh mengikuti upacara ini berkat perjuangan Mahatma Gandhi almarhum. 
Dipercayai secara shahtra vedik bahwasanya Gayatri-Diksa adalah kelahiran kedua.  Orang tua melahirkan putra mereka karena menginginkannya secara bersama-sama, dan lahirnya seseorang  dari rahim bundanya dianggap sebagai kelahiran fisik. Namun kelahiran kedua adalah anugerah melalui Savitri yang telah menguasai Veda-veda secara keseluruhan, dan kelahiran kedua ini dianggap kelahiran sejati, abadi dan tak pernah mati dimakan sang waktu.  Sesudah diinisiasi ini seorang putra laki-laki disebut Dvija. 
Sebenarnya mantra ini berisikan kalimat keempat dan kalimat ini dianggap begitu sakralnya sehingga hanya diberikan oleh seorang guru spiritual yang telah betul-betul Dvijati pada saat seseorang memasuki masa sanyasi dan dhyananya. Kalimat keempat ini hadir di Chandogya, Brhadaranyaka dan di Brahma-Sutra.  Kami di Ganeshya Pooja  (Shanti Griya) telah menurunkan Gayatri lengkap ini (disebut juga Maha-Gayatri) kepada sekitar 70 sishya yang menunjukkan tanda-tanda spiritual yang teramat satvik, dari antara ribuan sishya yoga ini. Prosesnya selalu terjadi secara mistis dan otomatis sehingga sang sishya akan menunjukkan gejala-gejala awal  yang sangat menunjang kehadiran Gayatri-Mantra ini di dalam dirinya.  Setelah mendapatkan awal inisiasi,  pemuja ini akan segera menjadi vegetarian  dan ahimsa, lalu mempersiapkan dirinya untuk inisiasi lengkap.  Namun sidang pembaca sebaiknya tidak menghubungi kami untuk yang satu ini, karena mendapatkan Maha-Gayatri adalah proses yang teramat sulit dan sudah banyak yang menjadi gila karenanya. Itulah sebabnya para guru spiritual tidak mau menurunkannya secara sembarangan.  Pada saatnya nanti seorang Hindu atau siapa saja yang telah siap mendapatkannya akan menemukan dimana saja Gayatri (Sang Dharma) berkenan.  Ingat, bukan kita memilih Sang Brahman, tetapi beliaulah yang memilih kita semua. 
Para wanita di masa lampau seperti di masa kini, selalu melantunkan mantra Gayatri secara bebas, dan pada zaman tersebut merekapun melaksanakan upacara Upayana, namun dewasa ini wanita tidak perlu mengikuti upacara ini karena kelahiran kedua seorang wanita adalah sewaktu ia menikah dengan purushanya.  Menurut para resi  seorang wanita lebih efektif dibandingkan dengan seorang pria seandainya ia berjapa Gayatri-Mantra karena efeknya terasa ke seluruh keluarga dan relasi di rumah-tangganya termasuk janin-janin yang dikandungnya. 
Seorang resi guru Chinmaya pernah menulis dan menyebarkan sebuah karya yang disebut Devaprayaga yang dikomentari oleh Sri Shankara Acharya secara pribadi, karya ini sudah tua dan langka, namun dengan bantuan guru tersebut di atas dapat diterjemahkan seperti berikut ini: 
Arti dari wacana Gayatri 
Gayatri sudha pratyag-Brahma-aikya-bodhika 
1.        Mantra Gayatri mengindikasikan ilmu pengetahuan yang terutama akan hakikat penyatuan dengan Sang Atman yang hadir di dalam diri kita dan Yang Maha Hadir di mana saja. 
2.        Yang mengetahui akan segala bentuk budhi (intelek) yaitu Yang Menerangi semua bentuk pikiran dan hadir di semua bentuk intelek, yang merupakan Saksi dari semua bentuk budhi …. Ialah Sang Jati Diri yang disiratkan oleh Mantra Gayatri. 
3.        Maha Brahma, Realitas transedental yang Hakiki adalah merupakan Sang Jati Diri itu semata-mata, dengan mejapakan Gayatri, Beliau akan bangkit (di dalam diri kita).  Sang Atman ini diindikasikan di Mantra Gayatri sebagai Sang Surya (Savitur). 
4.        Kata “tat”  disini mengartikan yang maha hadir, Sang Atman di dalam diri kita, yang bukan tidak dan bukan lain adalah Sang Atman di dalam semuanya, yaitu Yang Maha Atman (Param Brahma). 
5.        Kata surya (Savitur) bermakna Tunggal, yaitu satu substratum bagi semua pengalaman delusi yang berbasiskan pruralitas dan juga berbagai permainan ilusi di medan penciptaan ini, termasuk juga dalam tahap pemeliharaan dan penghancurannya (kiamat, pralaya). 
6.        Kata “Varenyam” (Yang dipuja-puji, Yang dikagumi) berarti Dia (Itu) yang dituju setiap insan (semuanya), Yang bersifat ananda-rupam (rahmat, berkah yang tidak ada batasnya).
 (kata ini pada saat berjapa harus dilantunkan sebagai Varenyam) 
7.        Kata “Bhargah” berarti yang menghancurkan semua bentuk kebodohan, ketidak-sempurnaan yang dipancarkan oleh kekurang-pengetahuan akan pemahaman Sang Ralitas. Dimana hasil-hasil kebodohan tersebut dihancurkan, maka di situ akan hadir kesadaran akan Realitas Yang Maha Esa secara segera. 
8.        “Devashya” (Cahaya) di sini bermakna kesadaran yang senantiasa hadir, menerangi baik di dalam maupun di luar, di tiga tahap (alam) ….. kesadaran, alam-mimpi dan alam tidur-lelap. 
9.        Yang adalah sifatKu yang murni, yaitu AtmanKu, adalah tidak lain tetapi Berkah yang terutama, substratum untuk semuanya, jauh diluar berbagai penderitaan dan tragedi, bersinar sendiri, bersifat kesadaran yang murni, yaitu Brahman Itu Sendiri. 
10.    Kata “Dhimahi” berarti yang menjadi tujuan meditasi kami, berasal dari konstruksi di Veda. 
11.    Sekarang jelaslah sudah bahwa Mantra-Gayatri ini mengindikasikan kesadaran dan kebangkitan (dalam arti yang dalam) dalam diri kita agar kita faham akan Hakikat Hyang Tunggal yang menghidupi setiap makhluk. 
12.    Di dalam daftar kata-kata vedik, maka kata-kata Bhuh (Bhur), Bhuvah (Bhvah), Svah, Mahah, Janah, Tapah dan  Satyam,  semuanya  berjumlah tujuh disebut “Vyahrti-S”. Dari ke tujuh kata-kata ini, hanya tiga kata pertama dipergunakan untuk pemujaan sehari-harinya. Semuanya pada hakikatnya mengindikasikan Hakikat Brahman Yang Maha Abadi. 
13.    “Bhuh” mengindikasikan keabadian. Yaitu Yang Maha Hadir di setiap periode sang waktu, Yang Maha Suci, Yang Senantiasa Merdeka, Yang bersifat eksistensi murni di dalam setiap bentuk. 
14.    Kata “Bhuvah” menyiratkan makna dari kesadaran yang murni, kata ini berasal dari imajinasi, yang menyiratkan akan kehadiran kesadaran yang menerangi berbagai pikiran kita. 
15.    Kata “Svah” sebagai vyahrti bermakna : realitas terutama dari  seseorang itu sendiri, karena apa yang dituju secara amat sangat oleh setiap ciptaan adalah Sang Jati Diri kita sendiri. 
16.    Kata “Mahah” berasal dari kata megah yang berarti Yang Dipuja, yang secara langsung berarti Yang Maha Megah atau Yang Maha  Dipuja yaitu Sang Jati Diri Yang Maha Utama. 
17.    Vyahrti “Janah” bermakna: Mencipta, yang berarti Yang Maha Pencipta dari mana berasal semua bentuk nama dan rupa, baik yang berada di dalam maupun di luar. 
18.    Kata “Tapah” bermakna: Penuh dengan terang-benderang, kecemerlangan, yang tak terhingga. Sang Jati Diri sebagai bentuk kesadaran adalah satu-satunya yang merupakan sumber semua cahaya di alam-semesta ini. 
19.    Kata “Satyam” bermakna:  Sebuah tahap yang jauh sekali  dari jangkauan berbagai keterbatasan seperti penderitaan dan berbagai penyakit. 
20.    Ketujuh Vyahrti-S diterangkan dan disebut sebagai tujuh loka, yaitu tujuh bentuk kesadaran  atau pengalaman.
(juga berarti 7 cakra utama di raga setiap manusia, ini adalah sendi-sendi buana-alit kita yang berhubungan dengan 7 loka di alam-semesta (buana-agung).  Fenomena ini hanya bisa difahami oleh seorang sishya dibawah bimbingan guru yang telah dwijati secara murni). 
21.    “Etad-uktam bhavati”. Kata-kata ini bermakna: Oleh karena itu semenjak semula kami telah mengindikasikan bahwasanya Gayatri adalah pengejawantahan dari Realitas Yang Maha Utama, yaitu Sang Brahman. 
22.    Sang Jati Diri, Yang adalah eksistensi murni, adalah makna yang disirat dan diindikasikan oleh Mantra-Mantra  Veda OM, yang menunjuk ke Brahman. Ketujuh loka juga menjabarkan  makna dari OM dan yang dimaksud ini adalah Sang Brahman itu sendiri, dan bukan yang lain-lainnya, sebenar-benarnya hanya Beliau satu-satunya yang eksis. 
23.    Demikianlah, ketujuh Vyahrti-S menunjuk, dengan seluruh makna dan isi kandungan mereka, ke arah Sang Brahman, Sang Jati Diri (Atman) dalam kesemuanya

Semoga bermanfaat untuk kita semua
Om Shanti, Shanti,Shanti, Om

MANTRA TRI SANDYA DAN PANCA SEMBAH

1.      Doa Tri Sandhya
Duduk  (Padmasana, Sidhasana, Silasana, Vajrasana)
            OM PRASADA STHITI SARIRA

            SIVA SUCI NIRMALA YA NAMAH SVAHA

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, Yang Maha Suci, pemelihara kehidupan, hamba puja Dikau dengan sikap yang tenang.


Pranayama :
1)      Puraka (Menarik nafas)

      OM ANG NAMAH

2)      Kumbaka (Menahan nafas)

      OM UNG NAMAH

3)      Recaka (Mengeluarkan nafas)

      OM MANG NAMAH

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur alam semesta hamba puja Dikau.

Kara Sodhana (Sarira Suddha)
OM SODDHA MAM SVAHA

OM ATI SODDHA MAM SVAHA

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, sucikanlah hamba dari segala dosa.

Puja Tri Sandhya :
1)      OM OM OM BHUR BHUVAH SVAH,

      TAT SAVITUR VARENYAM,

BHARGO DEVASYA DHIMAHI

DHIYO YO NAH PRACODAYAT

2)      OM NARAYANA EVEDAM SARVAM,

YAD BHUTAM YASCA BHAVYAM,

NISKALANGKO NIRANJANO NIRVIKALPO,

NIRAKHYATAH SUDHO DEVA EKO,

NARAYANO NA DVITYO ASTI KASCIT

3)      OM TVAM SIVAH TVAM MAHADEVA,

      ISVARAH PARAMESVARAH,

      BRAHMA VISNUSCA RUDRASCA,

      PURUSAH PARIKIRTITAH

4)      OM PAPO’HAM PAPA KARMAHAM,

      PAPATMA PAPA SAMBAVAH,

      TRAHI MAM PUNDARIKAKSAH,

      SABAHYABHYANTARAH SUCIH

5)      OM KAMASVA MAM MAHADEVAH,

      SARVAPRANI HITANGKARA,

      MAM MOCA SARVA PAPEBHYAH,

      PALAYASVA SADA SIVAH

6)      OM KSANTAVYAH KAYIKO DOSAH,

      KSANTAVYO VACIKA MAMA,

      KSANTAVYO MANASO DOSAH,

      TAT PRAMADAT KSAMASVA MAM,

      OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM


Artinya:

1)      Om Sanghyang Widhi Wasa yang menguasai ketiga dunia ini, Engkau Maha Suci, sumber segala cahaya dan kehidupan, berikanlah budi nurani kami penerangan sinar cahaya-Mu Yang Maha Suci.

2)      Om Sanghyang Widhi Wasa, sumber segala ciptaan, sumber semua makhluk dan kehidupan, Engkau tak ternoda, suci murni, abadi dan tak ternyatakan. Engkau Maha Suci dan tiadalah Tuhan yang kedua.

3)      Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau disebut juga Siwa, Mahadewa, Brahma, Wisnu dan juga Rudra, karena Engkau adalah asal mula segala yang ada.

4)      Om Sanghyang Widhi Wasa, hamba-Mu penuh kenestapaan, nestapa dalam perbuatan, jiwa, kelahiran. Karena itu oh Hyang Widhi, selamatkanlah hamba dari kenestapaan ini, dan sucikanlah lahir bathin hamba.

5)      Om Sanghyang Widhi Wasa, Yang Maha Utama, ampunilah hamba-Mu, semua makhluk Engkau jadikan sejahtera, dan Engkau bebaskan hamba-Mu dari segala kenestapaan atas tuntunan suci-Mu oh Penguasa kehidupan.

6)      Om Sanghyang Widhi Wasa, ampunilah segala dosa dari perbuatan, ucapan, dan pikiran hamba, semoga segala kelalaian hamba itu Engkau ampuni. Om Sanghyang Widhi Wasa, semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai selalu.

2.      Kramaning sembah
Urutan-urutan Sembah

Urutan – urutan sembah, baik pada waktu sembahyang sendiri ataupun sembahyang bersama adalah seperti di bawah ini, dengan catatan apabila dipimpin oleh Sulinggih atau Pinandita maka umat melafalkan mantram/doa di dalam hati.

1)      Sembah tanpa bunga (Muyung)

Mantram:

                        OM ATMA TATTVATMA SODDHA MAM SVAHA

Artinya:

                        Om Atma atmanya kenyataan ini, bersihkanlah hamba.

 2)      Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Sanghyang Aditya dengan sarana bunga.

Mantram:

                        OM ADITYASYAPARAM JYOTI

                        RAKTA TEJO NAMO’STUTE

                        SVETAPANKAJA MADHYASTHAH

                        BHASKARAYO NAMO’STUTE

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, Sinar Surya Yang Maha Hebat, Engkau bersinar merah, hormat pada-Mu, Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih, hormat pada-Mu pembuat sinar.

 3)      Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Ista Dewata dengan sarana Kwangen atau bunga.

Mantram:

OM NAMO DEVAYA, ADHISTHANAYA, SARVA VYAPI VAI SIVAYA, PADMASANA EKAPRATISTHAYA, ARDHANARESVARYAI NAMO NAMAH SVAHA

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat kami kepada dewa yang bersemayam di tempat utama kepada Siwa yang sesungguhnya berada dimana – mana, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba menghormat.

4)      Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Pemberi Anugerah, dengan sarana Kwangen atau bunga.

Mantram:

OM NUGRAHAKA MANOHARA,

DEVA DATTANUGRAHAKA,

ARCANAM SARVA PUJANAM,

NAMAH SARVANUGRAHAKA,

OM DEVA DEVI MAHASIDDHI,

YAJNANGGA NIRMALATMAKA,

LAKSMI SIDDHISCA DIRGHAYUH

NIRVIGHNA SUKHA VRDDHISCA.

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau yang menarik hati, pemberi anugerah. Anugerah pemberian Dewa, pujaan dalam semua pujian, hormat pada-Mu pemberi semua anugerah. Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud Yajna, pribadi suci, kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, kegembiraan dan kemajuan.

5)      Sembah tanpa bunga (Muyung).

Mantram:

OM DEVA SUKSMA PARAMACINTYAYA NAMAH SVAHA.

 Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat pada Dewa yang tak berpikiran yang maha tinggi, yang maha gaib. Setelah persembahyangan selesai dilanjutkan dengan mohon Tirtha (air suci) dan Bija/Wibhuti.

6)      Metirtha.

Sebelum Tirtha dipercikkan, ucapkan terlebih dahulu mantram ini:

OM PRATAMA SUDHA, DVITYA SUDHA, TRITYA SUDHA, CATURTI SUDHA, PANCAMI SUDHA, SUDHA, SUDHA, SUDHA VARIASTU NAMAH SVAHA.

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, semoga kami dianugerahi kesucian, hormat kepada-Mu.

 Dapat pula dengan menggunakan mantram berikut ini:

Pemercikan tiga kali ke ubun – ubun:
OM ANG BRAHMA AMRTHA YA NAMAH

OM UNG WISNU AMRTHA YA NAMAH

OM MANG ISVARA AMRTHA YA NAMAH

Artinya:

Om Hyang Widhi Wasa, bergelar Brahma, Wisnu, Iswara, hamba memuja-Mu semoga dapat memberi kehidupan (dengan tirtha ini).

 1. Minum Tirtha tiga kali:

OM SARIRA PARIPURNA YA NAMAH,

OM ANG UNG MANG SARIRA SUDHA,

PRAMANTYA YA NAMAH,

OM UNG KSAMA SAMPURANYA NAMAH.

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur segala ciptaan, semoga badan hamba terpelihara selalu, bersih, terang dan sempurna.

Meraup, mengusap Tirtha ke muka ke arah atas:
OM SIVA AMERTHA YA NAMAH,

OM SADHA SIVA AMERTHA YA NAMAH,

OM PARAMA SIVA AMERTHA YA NAMAH.

Artinya:

Oh Hyang Widhi (Siwa, Sadha Siwa, Parama Siwa) hamba memuja-Mu semoga memeberi amrtha pada hamba.

 7)      Memasang bija:

Bija untuk di dahi:
OM SRIYAM BHAVANTU

(Oh Hyang Widhi, semoga kebahagiaan meliputi hamba).

Bija untuk di bawah tenggorokan:
OM SUKHAM BHAVANTU

(Oh Hyang Widhi, semoga kesenangan selalu hamba peroleh).



Bija untuk ditelan:
OM PURNAM BHAVANTU

OM KSAMA SAMPURNA YA NAMAH SVAHA.

(Oh Hyang Widhi, semoga kesempurnaan meliputi hamba, Oh Hyang Widhi semoga semuanya menjadi bertambah sempurna).

 8)      Meninggalkan tempat suci, didahului Parama santih:

OM SANTIH, SANTIH, SANTI OM

Rabu, 29 Juli 2015

Pura Narmada sejarah Hindu di tengah Lombok”












Pura Narmada bisa dijadikan sebagai akulturasi budaya hindu di Lombok. Di bangun oleh raja keturunan hindu Bali, sebagai tempat peristirahatan keluarga kerjaan.
Tentu bukan hal sederhana mengapa lokasinya ada di Lombok, sementara pusat kekusaannya berada di Bali..
Narmada menjadi tempat yang sangat spesial tentunya bagi sang penguasa kerajaan di Bali masa itu.
Pura Agung Narmada dibangun sebagai replika keindahan dan keaguangan gunung rinjani.. Taman taman berundak dan danau danu kecil di dalam kompleks Pura Agung Narmada menjadi perlambang untuk gunung rinjani dengan segala keelokannya.
Hal ini juga berkaitan dengan upacara keagamaan yang dilakukan sang Raja satu kali dalam setahun di puncak rinjani sana.
Sebuah penggambaran yang luarbiasa bagi seorang Raja penguasa Bali saat itu, dan saat ini meninggalkan decak kekaguman akan hasil karya nan indah menawan jika sempat mampir ke Pura Agung Narmada.
Namun tentu saja kelemahan kita sebagai bangsa, sangat lemah dalam menjaga kelestarian budaya penggalan masa lalu.. Taman yang kurang terawat serta sudut sudut taman yang di biarkan seperti apa adanya dengan ilalang ilalang yang meninggi. Tampaknya kita memang harus banyak belajar dari negara tetangga untuk memoles hal yang biasa menjadi luar biasa..

pura suranadi




BAB I

PENDAHULUAN



1.1.  Latar Belakang

 Pura umumnya memiliki kelekatan hubungan dengan para pemujanya dan tempatnya berada, demikian pula dengan latar belakang sejarah pendiriannya. Pemuja yang memiliki kepentingan terutama untuk memenuhi kebutuhan batin, maka pura dapat dianggap sebagai obat, pemberi kesegaran, dan ketenangan bati. Wilayah yang menjadi tempat keberadaan pura merupakan tanah yang suci, sehingga pemujanya merasakan aroma kesucian yang dapat membersihkan pikiran dan tindakan yang kurang terarah. Selain itu wilayah keberadaan pura dapat menubuhkan kecintaan dan penghargaan terhadap bumi tempat berpijak sebagai ibu pertiwi. Pura dari sisi lain sebagai saksi sejarah akan eksisnya sebuah kepercayaan, sehingga ada kesan semakin panjang sejarahnya, apalagi orang – orang suci dan orang yang terpengaruh yang terlibat didalamnya, maka membut kesakralaannya menjadi bertuah asalkan tetap dilestarikan oleh umat dari masa ke masa

Menurut Wiana (2009:7)Pura sebagai tempat pemujaan merupakan symbol untuk mendorong umat Hindu berbakti kepada Tuhan, demikian pula kualitas kehidupan dapat meningkat bagaimana pemujaan kepada Tuhan dapat mendorong dirinya mau berkorban untuk membangun nilai – nilai kemanusian dan memelihara alam lingkungan. Dengan kata lain untuk membangun kehidupan social yang dinamis dan harmonis.



1.2  Rumusan Masalah

1.      Apa yang di maksud dengan pura?

2.      Bagaimana sejarah berdirinya pura suranadi (panca tirta) dan berapa jumlah pelinggih yang ada di pura tersebut?

3.      Bagaimana tata upacara pujawalinya?



1.3         Tujuan Penelitian

1.      Mengetahui dan memahami sejarah berdirinya pura suranadi (panca tirta)

2.      Mengetahui jumlah pelinggih

3.      Mengetahui tata upacara pujawali   

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pura

 Istilah pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali. Tampaknya  berasal dari jaman yang tidak begitu tua. Pada mulanya istilah pura berasal dari bahasa sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum di pergunakan kata pura untuk menamai tempat suci /tempat pemijaan dipergunakan kata Khayangan atau Hyang. Pada jaman Bali kuna dan merupakan data tertua kita di Bali, ada disebutkan di dalam prasasti Sukawana A 1tahun 882M. kata Hyang berarti tempat suci atau tempat berhubungan dengan kebutuhan 

 Jadi dapat dikatakan bahwa pura merupakan tempat suci Agama Hindu yang digunakan untuk tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan segala manifestasi – Nya serta Atman Sidda Dewata (roh suci leluhur)














B.Struktur Pura

1.1 Struktur pura ulon

Pura ulon disebut pula pura Gaduh, berada disebelah timur dan tempatnya disebelah timur badan jalan raya, dan berbatasan dengan kawasan hutan lindung Taman Wisata Alam disebelah utara dan sebelah timur pura. Pura ini menghadap kea rah barat, dengan tiga buah pintu masuk, yaitu:dua buah bebetelan dan satu buah kori agung. Mata air patirthan dan mata air panglukatan terdapat diutama mandala pura.  Beberapa palinggih utama, bangunan pendukung lainnya, serta fsilitas pendukung upacara didalamnya adalah sebagai berikut. (1). Palinggih Bhatare Gede Gunung Renjani, (2). Palinggih Padmasana, (3). Palinggih ngerurah, (4). Kemalik/Palinggih Betara Gede lingsar /palinggih Bhatara Ayu Mas Melanting, (5). Gedong penyimpenan, (6). Padma patirthan, (7). Padma panglukatan, (8). Bale pengaruman, (9). Bale banten, (10). Bale pawedan, (11). Bale pemangku, (12). Bale pesadekan. Di bagian kanistan mandala terdapat dua buah bale gong, bale kul – kul dan wantilan.
Palinggih utama yang menjadi cici utama pura Ulon yaitu palinggih Bhatara Gede Gunung Renjaniyang telah di pugar prtama kali tahun 1720 M oleh kerajaan karang asem dan di puput perande sakti Abah. Kontruksi bangunan utama pada yang berubah yaitu pembangunan padmasana, adanyan jumlah bangunan tambahan padma, diding/penyengker dan ornamentasi yang menghiasi sekeliling pelinggih. Kontruksi bangunan paliggih Bhatara Gede Gunung Rinjani ter tera pada gambar berikut ini.


Palinggih Bhatara Gede Gunung Rijani berada di atas bataran bertangga Sembilan, yang di pipit oleh palingguh padmasana dan palinggih ngerurah. Memiliki ketinggian empat meter, dengan konstrukturnya terdiri atas dasar, badan dan puncak. Bagian dasar berbentuk segi empat terbuat dari bata dan pasir semen yang di cetak dengan hiasan dua buah ekor naga sebagai bibir tangga, serta beberapa hiasan lainnya. Bagia badan terdiri atas kayu bertiang enam dan atapnya berbentuk limas dan kseluruhan warnanya berwarna hitam, yang menyimbolkan Dewa Visnu, sebagaimana di ketahui bahwa wujud beliau sebagai air dan pemelihara. Demikian pula dengan hutan Suranadi adalah sebagai pusat mata air yang jumlahnya sangat banyak (Perande Gede Nyoman Sebali Kenatan wawancara tanggal 23 november 2010).

Palinggih Bhatara Gede lingsar atau palinggih Bhatara Ayu Mas Melanting atau sebagai palinggih kemalik (bagi umat wetu telu) di pura ulon dengan kontruksi bangunan tertera pada gambar berikut ini.


   Bentuk bangunan pada dewasa ini menyerupai palinggih gedong yang puncaknya berupa alter segi empat. Ukuran bangunan sepanjang dua meter, lebar dua meter dan tinggi tiga meter, denga dasar berupa bataran agak lebar. Pada atas bagian badan terdapat altar berbentuk empat persegi da di atasnya terdapat dua buah tawulan (batu lonjong berdiri). Tawulan sebagai pratima itu di bungkus dengan masing – masing kain kuning dan putih. Kontruksi puncaknya berupa kerangka berbentuk limas dengan atap dari genteng.bagian dasarnya berupa teras yang telah di keramik biasanya sebagai tempat sesajen (bagi penganut wetu telu).

1.2    Struktur Pura Majapahit

Pura majapahit merupakan pura yang berposisi di tengan Hutan Taman Wisata, yaitu tempatnya d sebelah timur badan jalan raya masuk ke tengah hutan dan berlokasi 50 meter di sebelah utara Pura Ulon. Pura majapahit

merupakan pura yang ukurannya paling kecil di antara empat sebaran Pura Suranadi ini. Struktur pura Majapahit seprti tertera pada gambar foto di bawah ini.



Temple is a temple majapahit positioned amid Forest Park, where d is east of the 
highway agency into the woods and located 50 meters to the north 
of Temple Ulon.Pura majapahit temple whose size is the smallest of
 the four distribution Suranadi this temple.Majapahit temple structure bleak picture shown in
 the figure below.

 Letak pura menghadap kearah selatan dan posisinya di kelilingi oleh HUtan Taman Wisata. pura ini terdiri atas palinggih Bhatara Sakti Waurauh /palinggih bhatara majapahit ,palinggih ngerurah dan bale banten. Nama pelinggih eratkaitannya dengan penghormatan atas jasa Dang Hyang Dwijendra yang telah melaksanakan dharmayatra di suranadi ini. Sumber mata air yang sangat kecil terdapat di luar pura (jaba sisi).

 Palinggih batara sakti waurauh berbentuk gedong, dengan dasar berupa bataran persegi panjang satu meter kali satu setengah meter dengan tinggi 80 cm. badan berupa kayu bertiang enam setinggi 120 cm dengan altar berbentuk gedong terbuka yang di cat berwarna hitam. Atapnya sangat sederhana berbahan seng, walaupun demikian tetap dapet di benarkan asalkan model dan bentuknya sesuai dengan yang di yakini masyarakat setempat. Pura majapahhit terletak di tengah Hutan Taman Wisata jadi halamanya terbatas, walaupun demikian kawasan di sekitar pura merupakan wilayah yang di gunakan untuk aktivitas upacara. Kawasan jaba sisi pura ini, merupakan wilayah yang statusnya masih menjadi sengketa, karena sampai saat ini belum dapat di berikan untuk membuat dinding pemisah dengan, melainkan hanyan di berikan untuk menggunakan untuk upacara saja




1.3. Struktur Pura Pangentas

           Pura pangentas teretak di seberang jalan dan beberapa meter kearah barat daya dari PuraUlon, dengan ukuran luas yang lebih besar dari pada pura Majapahit. Pura ini terdiri atas dua halaman ( dwi mandala) yaitu utama mandala dan kanistan mandala. Letak pura berada bersebelahan dengan penginapan /hotel, walaupun demkian susunan ketenangan dan kenyamanannya cukup kondusif dan tidak menggangu. Gambar srtuktur palinggih pangentas seperti yang tertera pada foto yang di bawah ini.
Srtuktur pura terdiri atas :utama mandala yang di dalamnya terdat palinggih padma, palinggih ngrurah, padma toye tabah, bale banten, mata air pangentas dan mata air tabah /panebak. Pada bagian kanistan mandala terdapat bale pakemitan, dan kolam mandi sakral. Fungsi  pura ini yaitu sebagai tempat untuk mengambil tirta untuk upacara pitra yadnya terutama toye pangentas dan toye tabah, oleh karena itu bangunan palinggih utamanya hanya dua buah. Kontruksi bangunan palinggih madya terdapat rong (ruang) tempat menyimpan pratima (yaitu tawulan /batu lonjong berdiri , sedangkan bagian puncaknya sedangkan altarnya berbentuk singgasana. Peratima berupa tawulan adalah merupakan salah satu ciri khas palinggih – palinggih yang ada di pura suranadi. Mata air toya pangentas terletak di tengah – tenganh utama mandala pura, sedangkan muaranyan terletak di bagian kanistan mandala berupa kolam untuk permandian sakral. Kolam ini sering di pergunakan untuk membersihkan diri dari penyakit bagiorang yang mempercayainya. Mata air toya tabah terletak dibagian utara utama mandala,di mana aliran air yang muncul agak sedikit atau lambat sehingga menyerupai telaga yang airnya dangkal. Menurut I Nengah Segara (wawancara tanggal 4 oktober 2011 penyebab mata air toya tabah sangat dangkal akibat pembangunan hotel di sebelah timur Pura Pangentas.



1.4   Struktur Pura Pembersihan

Pura pembersihan terletak kurang lebih 200 meter kearah barat daya Pura Ulon. Di pura ini hanya terdapat satu sumber mata air yaitu mata air pembersihan. Struktur pura pembersihan.

     Beberapa palinggih yang terdapat di bagian utama mandala sebagai berikut: (1). Palinggih padmasari, (2). Palinggih ngrurah, (3). Palinggih tepasana/punggel, (4). Kemalik/palinggih bhatara gede lingsar, (5). Gedong penyimpenan, (6). Bale banten, (7). Bale pwedaan , (8). Bale pemangku. Pada madya mandala terdapat dua buah bale pakemitan. Mata air pembersihan bermuara pada sebuah tempat untuk mandi sakral di sebelah selatan pura pembersihan yang di batasi oleh pagar permanen. Di sebelah barat lokasi permandian sakral terdapat kolam untuk perandian umum.



Bangunan palinggih yang menjadi cirri khas /keunikan pura pembersihan adalah kemalik. Menurut artinya kata kemalik berarti benda – benda yang di kramatkan atau tempat – tempat yang di keramatkan (lukman, 2005: 15). Beberapa pndapat tentang kemalik sebagai media yang sangat sederhana dapaty berbeda – beda menurut Sastrodirwiryo  (2008:160) kemalik di perkirakan ada sejak Dang Hyang Dwi jendra di  Lombok di prkirakan tahun 1530 M. walaupun sebelumnya masyarakat sasak baru beberapa puluh tahun mengenal Agama Islam.

Palinggih kemalik pada dewasa ini berbentuk mempunyai rumah sederhana bertianh empat, tetapi bagian depan dan sampingnya terbuka, bagian puncak segi empat dan beratap seng bangunan tersebut terbuat dari bata yang di pelester dengan tiang beton sehingga membentuk bagian rumah atau kuburan keramat. Ukuran bangunan dengan panjang empat meter, lebar tiga meter, dan tingginya tiga meter. Pada bagian badan terdapat altar setinggi tujuh puluh senti meter ddan di atasnya terdapat beberapa buah tawulan (batu lonjong berdiri). Bagian dasar berupa teras yang agak luas ruangannya, di mana biasanya tempat sesajen (bagi yang menganut wetu telu). Menurut Anonim (1977: 79) bahwa keadaan kemalik di sebabkan karena  orang – orang sasak telah lama memiliki keyakinan anisme dan dinanisme. Di sebutkan lebih jauh lagi bahwa kemalik – kemalik itu dulunya terdapat di seluruh desa pulau Lombok. Walaupun setelah itu dating agama Hindu Siwa Duda yang di bawa oleh utusan kerajaan dari balidan kerajaan Majapahit. Sisilan keturunan Kerajaan Majapahit merupakan cikal bakal raja – raja di Lombok. Dari breberapa argumentasai di atas maka manurut penulis hemat penulis, keberadaan kemalik merupakan warisan dalam megalithikum. masyarakat sasak telah memiliki  keyakinan animism dan dinanisme sejak jaman purba. Sehingga warga yang meyakini weyu telu masih menggunakan kemalik sebagai tempat yang di keramatkan sampai sekarang, apalagi dahulinya banyak di temukan kemalik pada hamper setiap desa.

Agama islam yang di bawa sunan Prapen tergolong aliran sufi yang di ajarkan pada sekitar tahun 1500 M kepada orang – orang sasak. Sunan prapen keturunan dari Sunan Giri,salah seorang Agama Islam di jawa. Pada sekitar tahun 1640 M salah seorang pengikut SSUnan Kalijaga brnama Sunan Pangging mengajarkan islam sufi yaitu sinkretisme antara antara animism/pantheisme, Hindi danislam (sastrodiwiryo, 2008: 184). Penomena mistik dari percmpuran itu dapat di terima secara sukarela oleh penduduk Lombok. Lama – kelamaan ajaran ini berkembang menjadi wetu telu (anonym, 1977: 15). Bagi penganut wetu telu yang di puja pada kemalik adalah roh – roh suci leleuhur yang langsung dapat memberikan perlindungan, memberikan keselamatan emberikan petunjuk dan mengabulkan permohonan untuk memproleh itu maka terlebih dahulu membersihkan rohani mereka dengan menggunakan air dari mata air patirtan dan panglukatan.

Bagi umat Hindu yang di npuja pada kemalik adalah Bhatara Gede Lingsar, di mana pemujaan Batara Gede Lingsar berkaitan dengan pemujaan pada beliau sebagai penguasa mata air patirtan. Menurut Kartodiharjo (1989) bahwa media pemujaan berbentuk tugu dari batu yang berfungsi sebagai tanda peringatan untuk memuja roh nenek moyang dalam istilah akeologi di sebut dengan menhir.

Selain prpses social yang menglami prtumbuhan seperti uraian tersebut di atas maka dalam agama hindu mempedomani keberadaan seluruh bangunan pura supaya supaya tidak menyalahi aturan tidak terlepas dari konsep dharma sidhi artha yaitu:iksa, shakti, desa, kala, dan takwa. Maksud dari kelima dasar itu yaitu agar penerapan Dharma itu berhasil maka boleh di sesuaikan dengan cita – cita seseorang atau kelompok  (iksaha), Kemampuan (shakti), aturan setempat (desa), waktu(kala), dan tidak bertentangan dengan hakekat kebenaran atau tatwa (Wiana, 2009: 11-12)



C.Betuk Prosesi Upacara Pujawali

Rangkaian mulai dari awal sampai penutup upacara pujawali di laksanakan di laksanakan sepuluh hari pada purnama saseh kelima. Rangkaian itu dapat di kelompokkan ke dalam delapan tahap (Prande Gede Jelantik Dwije Putra wawancara tanggal 5 oktober 2011 dan I Gusti Nyoman Oke tanggal 7 oktober 2011



2.1. Upacara nuhur Ida Bhatara di Gunung Rinjani

 Gunung Rinjani dengan ketinggian 3.000 mdpl merupakan gunung tertinggi di pulau Lombok. Di bawah puncak Gunung terdapat Danau Segara Anak, di mana tempat melaksanakan upacara nuhur Ida Batara. Pelaksanaan menuju Gunung Rinjani di nlaksanakan pada hari ke enam sebelum puncak Upacara (pujawali), tempatnya sore hari pukul 16:00 waktu setempat. Sesampainya d Danau Segara Anak barulah di laksanakan upacara tersebut. Banten yang di gunakan untuk nuhur Ida Bhatara di bawa dari Pura Suranadi ke Gunung Rinjani yaitu: pejatian, canang bulat wangi, canang bebaos, canang genten, krik karmas, buhu dan tehenan. Banten tersebut akan di haturkan pada masing – masing palinggih yang di buat untuk keprluan upacara di Tepi Danau Segara Anak




2.2. Upacara Tabuh Rah

 upacara tabuh rah merupakan salah satu rangkaian acara bhuta yadnya dengan cara mempersembahkan darah ayam (sata) di mandala (halaman) pura. Pelaksanaan tabuh rah di pura suranadi di laksanakan di lokasi tri mandala pura, dengan cara memotong ayam kemudian darahnya di cecehkan di jaba sisi,jaba tengah dan jeroan halaman pura. Upacra ini di laksanakan pada dua hari sebelum puncak acara (pujawali), dan di lakukan upacara tabuh rah pada empat pura yaitu: Pura Ulon, Pura Majapahit, Pura Pangentas, Pura Pembersiahan.



2.3. Upacara nyanggra Ida Bhatara di Pura majapahit

upacara nuhur Ide Bhatara di Gunung Rinjani telah selesai di laksanakan, maka pemedek kemudian kembali ke Suranadi untuk melaksanakan upacara berikutnya. Setelah pulang dari Gunung Rinjani yang menghabiskan waktu perjalanan beberapa hari maka barulh menuju Pura Suranadi untuk selanjutnya melaksanakan upacara nyanggra Ida Bhataran, di mana tirta upakara yang di bawa dari Gunung Rinjani itu kemudian di stanakan di Pura Majapahit.

Banten yang di gunakan pada upacara ini yaitu: bayuan panca phala, sedah penyapa, rayunan, canang burat wangi, dan canag genten semuanya ini mungguh di palingguh Majapahit. Banten peras daksina di letakkan pada arepan beleganjur. Upacara ini di lakukan dua hari sebelum ouncak acara (pujawali) pada pukul 16:00 waktu setempat



2.4. Upaca Penyucian Pratima

Suatu hari sebelum puncak acara (pujawali) pada pukul 08.00 waktu setempat, di lakukan upacara nyucian pratima bagi pura majapahit, pura Ulon, Pengentas dan pembersihan. Sebagai penangghung jawab acara penyucian pratima ini adalah banjar yang tugasnya mengempon masing – pura yang di pimpin oleh pemangku.

Banten dan sarana yang di haturakan untuk di Pura Majapahit yaiyu:pejatian, canang bulat wangi, canang genten, canang pembaos, toya pentucian (toya cendana, toya segara, toya kumkuman, toya jeruk, toya nyuh gading), muncuk ambengan, krik karmas, banten dan sarana lainnya.

Banten yang di haturkan di pura pangentas yaitu: pejatian, canang bulat wangi, canang genten, canang bebaos , toya penyucian (toya cendana, toya segara, toya kumkuman, toya jeruk, toya nyuh gading), muncuk ambengan, krik karmas, banten dan sarana lainya.

Banten dan sarana yang di haturkan untuk nyucian pratima di pura pembersihan yaitu: toya cendana, toya segara, toya kumkuman, toya jeruk, toya nyuh gading), muncuk ambengan, krik karmas, banten, buhu, tigasan, dan solasan di haturrkan di bale banten  dan sarana lainnya.



2.5. Upacara mendak Ida Bhatara

upacara mendak Ida Bhatara di laksanakan pukul 13:00 waktu setempat yaitu sehari sebelum pujawali. Upacara ini di lakukan, dengan ngamedalan Bhatara tirta pada masing – masing pura, kemudian di naikkan di atas jempana dan semuanya di arak keliling oleh semua banjar yang mengamong pura.

Banten yang di gunakan dan di bawa pada waktu mendak dsn katuran pada saat tibanya akan ngadegan Ida Bhatara, yaitu:bayuhan panca phala, ketipat kelanan, sanganan jauman, canang burat wangi, ayunan alit, canang lenga wangi, dan canang genten.banten yang di haturkan bias setibanya mendak Ida Bhatara, yaitu: segehan agung, pitik selem mulus, rujak miyeh, solasan, basokan, tetabuhan,(arak, tuak, berem dan kelungah nyuh gading ). Banten ini akan di haturkan di arepan candi.



2.6. Upacara ngadegan Ida Bhatara

pukul 14:00 waktu setempat pada satu hari sebelum puncak acara (pujawali), di laksanakan upacara ngadegan Ide Bhatara di masing – masing pura, yaitu: pua Majapahit, Ulon Pangentas, pembersihan dan di pura Ulon upacaranya dipimpin oleh seorang Sulinggih dan beberapa pemangku, sedangkan penanggung jawab adalah banjar yang di tujuk waktu itu.



2.7.  Puncak Upacara Pujawali

pada hari purnama sasih kalima pukul 06:00 waktu setempat, sebelum upacara pujawali di masing – masing pura di laksanakan upacara nanginin.

(1). Puja wali di pura Majapahit

Pujawali di awali dengan melngkapi sarana dan palinggih pendukung lainnya . pada pukul 07:00 puncak acara yaitu purnama sasih kalmadi awali dengan ngunggahan banten pada masing – tempat yang di tentukan. Piodalan di pura Pangentas di pimpin oleh seorang sulinggih yang di laksanakan pada pukul 08:00 waktu setempat. Klompok banjar yang di tugaskan sebanyak tiga banjar yaitu: banjar Gumang, banjar Karya Dharma, banjar Kerta Tunggal Dharma

(2).  Pujawali di Pura pangentas

Pujawali di lengkapi dengan sarana upakara baik di palinggih utama maupun palinggih pendukung lainnya. Pada pukul 07:00 hari puncak acarayaitu purnama sasih kalima di awali dengan ngunggahan banten pada masing – tempat yang di tentukan. Piodalan di pura Pangentas di pimpin oleh seorang sulinggih yang di laksanakan pada pukul 09:00 waktu setempat. Klompok banjar yang di tugaskan sebanyak tiga banjar yaitu: banjar Lempuyang ,banjar Satya Dharma, dan banjar Suka Karya.

(3). Pujawali di Pura Pembersihan

Pujawali di lengkapi dengan sarana upakara baik di palinggih utama maupun palinggih pendukung lainnya. Pada pukul 07:00 hari puncak acarayaitu purnama sasih kalima di awali dengan ngunggahan banten pada masing – tempat yang di tentukan. Piodalan di pura Pangentas di pimpin oleh seorang sulinggih yang di laksanakan pada pukul 10:00 waktu setempat. Klompok banjar yang di tugaskan sebanyak tiga banjar yaitu: banjar Patus dan banjar Mua Desa

(4). Pujawali di Pura Ulon

Pujawali di lengkapi dengan sarana upakara baik di palinggih utama maupun palinggih pendukung lainnya. Pada pukul 07:00 hari puncak acarayaitu purnama sasih kalima di awali dengan ngunggahan banten pada masing – tempat yang di tentukan. Piodalan di pura Pangentas di pimpin oleh seorang sulinggih Budha  dan Siwa yang di laksanakan pada pukul 16:00 waktu setempat. Klompok banjar yang di tugaskan sebanyak tiga banjar yaitu: banjar Sidha karya Suranadi, banjar Sidha Karya Pemunut, banjar Tresan Karya dan banjar Sila Dharma Pemunut.



2.8. Upacara Nyejer dan Ngelukar       

(1). Upacara Nyejer di Pura Majapahit

Upacara Nyejer di lakukan tepat satu dan dua hari setelah puncak upacara (pujawali). Upacara di pimpin oleh pemangku yang di tunjuk setelah lengkapnya sarana upacara. Menghaturkan banten pejatian dan canang hanya pada palinggih pasimpangan Bhatara Majapahit mulai di lakukan pagi hari pukul 06:00 waktu setempat, baik pada hari pertama dan kedua setelah pujawali

Upacara ngelukar di laksanakan tiga hari setelah pujawali . upacara di laksanakan pukul 15:00 waktu setempat setelah lengkapnya sarana upacara dengan di pimpin oleh pemangku yag telah di tunjuk. Menghaturkan banten pada masing – masing palinggih mulai di lakukan pukul 15:00 waktu setempat

(2).   Upacara Nyejer dan Ngelukar di Pura Pengentas

Upacara Nyejer di lakukan tepat satu dan dua hari setelah puncak upacara (pujawali). Upacara di pimpin oleh pemangku yang di tunjuk setelah lengkapnya sarana upacara. Menghaturkan banten pejatian dan canang hanya pada palinggih pasimpangan Bhatara Pangentas mulai di lakukan pagi hari pukul 06:00 waktu setempat, baik pada hari pertama dan kedua setelah pujawali

Upacara ngelukar di laksanakan tiga hari setelah pujawali . upacara di laksanakan pukul 15:00 waktu setempat setelah lengkapnya sarana upacara dengan di pimpin oleh pemangku yag telah di tunjuk. Menghaturkan banten pada masing – masing palinggih mulai di lakukan pukul 15:00 waktu setempat.

(3). Upacara Nyejer dan Ngelukar di Pura Pabersihan

Upacara Nyejer di lakukan tepat satu dan dua hari setelah puncak upacara (pujawali). Upacara di pimpin oleh pemangku yang di tunjuk setelah lengkapnya sarana upacara. Menghaturkan banten pejatian dan canang hanya pada palinggih pasimpangan Bhatara Pambersihan mulai di lakukan pagi hari pukul 06:00 waktu setempat, baik pada hari pertama dan kedua setelah pujawali.

Upacara ngelukar di laksanakan tiga hari setelah pujawali . upacara di laksanakan pukul 15:00 waktu setempat setelah lengkapnya sarana upacara dengan di pimpin oleh pemangku yag telah di tunjuk. Menghaturkan banten pada masing – masing palinggih mulai di lakukan pukul 15:00 waktu setempat.

(4).  Upacara Nyejer dan Ngelukar di Pura Ulon

Upacara Nyejer di lakukan tepat satu dan dua hari setelah puncak upacara (pujawali). Upacara di pimpin oleh pemangku yang di tunjuk setelah lengkapnya sarana upacara. Menghaturkan banten pejatian dan canang hanya pada palinggih pasimpangan Bhatara Ulon mulai di lakukan pagi hari pukul 06:00 waktu setempat, baik pada hari pertama dan kedua setelah pujawali.

Upacara ngelukar di laksanakan tiga hari setelah pujawali . upacara di laksanakan pukul 15:00 waktu setempat setelah lengkapnya sarana upacara dengan di pimpin oleh pemangku yag telah di tunjuk. Menghaturkan banten pada masing – masing palinggih mulai di lakukan pukul 15:00 waktu setempat. Sebagai penanggung jawab (pangempon) dalam pelaksanaan Pujawali Pura Suranadi maka kelompok banjar Suranadi membagi tugas untuk mengempon masing – masing Pura, antara lain Pura Ulon, Pura Majapahit, Pura Pangentas dan Pura Pembersihan. Dan jumlah banjar di Desa Suranadi ada dua belas sehingga harus di bagi menjadi empat kelompok untuk mengurus Masing –masing Pura.


2.7. Pengmpon Pura Suranadi

Sebagai penanggung jawah (pengempon) dalam pelaksanaan upacara pujawali Pura Suranadi maka kelompok banjar di Desa Suranadi membagi tugas untuk mengempon masing – masing pura, antara lain: pura Ulon, Pura Majapahit, Pura Pangentas dan Pura Pambersihan jumlah banjar yang ada di Desa Suranadi ada dua belas banjar dan harus di bagi menjadi empat kelompok untuk mengurus masing – masing Pura.     

Selama upacara Pujawali berlangsung maka yang di beri tanggung jawab pada Pura Ulon yaitu:Sidha Karya Suranadi, banjar Sidha Karya Pemunut, banjar tresna karya ,dan banjar Sila Dharma pemunut. Pura Majapahit Yaitu: banjar Gumang, banjar Karya Dharma, banjar Kerta Tunggal Dharma. Dan Pura Pangentas dan Pembersihan diberikan tanggung jawab kepada warga dan banjar Patus, dan banjar Mua Desa.

Perilaku ini mencerminkan manusia telah memakai situasi yang di hubungkan dengan peristiwa sebelumnya (murva daksina), yaitu iring – iringan yang berlawanan arah. Suatu fakta tidak dengan sendirinya bias berjalan jika tidak ada yang mendukung seperti banjar atau pengempon.




BAB III

PENUTUP



3.1 Kesimpulan

Dari penjelasan diatas mengenai pura Suranadi ( panca tirtah ) maka dapat di simpulkan bahwa di perkirakan sejarah berdirinya pura ini sekitar tahun 1720 – 1946  yang dipugar pada masa pemerintahan Karang Asem dari sanalah pelinggih-pelinggih ini didirikan seperti Pura Ulon, Majapahit,Pengentas, pembersihan, dan palinggih pendukung lainya

3.2 Saran

Adapun saran-saran yang dapat kami berikan dari penulisan makalah ini adalah :

*      Dengan adanya makalah ini, diharapkan masyarakan generasi muda berperan aktif dalam menjaga Pura Suranadi sebagai tempat persembahyangan.

*      Di arapkan keaktifan masyarakat dalam mencari tau segalahl yang berkaitan dengan pura suranadi, karena makalah ini sipatnya terbatas. Selain itu jga , pura ini merupakan salah satu warisan budaya dan sekali gus sebagai saksi sejarah.

*      Menjaga kesucian Pura, seperti tidak melakukan perbuatan yang menyimpan yang  dapat mencemarkan kesucian Pura.




DAFTAR PUSTAKA




W W W. GOOGLE.COM: