Sad Kahyangan atau Sad Kahyangan Jagad,
adalah enam pura utama yang menurut kepercayaan masyarakat Bali
merupakan sendi-sendi pulau Bali. Masyarakat Bali pada umumnya
menganggap pura-pura berikut sebagai Sad Kahyangan:
- Pura Besakih di Kabupaten Karangasem.
- Pura Lempuyang Luhur di Kabupaten Karangasem.
- Pura Goa Lawah di Kabupaten Klungkung.
- Pura Uluwatu di Kabupaten Badung.
- Pura Batukaru di Kabupaten Tabanan.
- Pura Pusering Jagat (Pura Puser Tasik) di Kabupaten Gianyar.
Pura Besakih, Tempat Umat Memohon Keselamatan
|
Pura
Lempuyang Luhur terletak di Bukit Gamongan, pada puncak puncak bukit
Bisbis atau Gunung Kembar di desa Purahayu, kecamatan Abang, kabupaten
Karangasem. Jaraknya dari kota AmlaPura lebih kurang 22 km, arah keutara
melalui Tirtagangga menuju desa Ngis di kecamatan Abang kemudian
membelok ketimur langsung ke desa Purahayu. Kendaraan bermotor maupun
dengan sepeda hanya bisa sampai di desa Ngis, kemudian berjalan kaki
menuju desa Purahayu dan selanjutnya berjalan diatas bukit menuju Pura
yang berada di puncak bukit Bisbis.
Perjalanan
yang memakan waktu lebih kurang 3 jam itu cukup berat dan memayahkan,
karena kadang-kadang menemui jalan yang sempit dan berjurang terjal,
serta meanjak terus. Namun kepayahan itu dapat diimbali dengan indahnya
panorama yang dapat dinikmati dari atas bukit selama pendakian itu.
Lebih-lebih dari puncak Lempuyang pemandangan ke arah utara sangat
indah, kelihatan pantai Amed dan desa Culik, ke Timur Gunung Seraya, ke
Selatan kota AmlaPura, Candi Dasa, Padangbai dengan lautnya yang membiru
dan ke Barat kelihatan desa-desa yang berada di bawah seperti Desa
Ngis, Basang alas, Megatiga serta Gunung Agung yang nampak indah. Pura
Lempuyang Luhur termasuk Pura Sad Kahyangan di Bali (Menurut Lontar
Widisastra) yang juga merupakan kahyangan jagat yang termasuk salah satu
dari “Pura-Pura” delapan penjuru angin di Pulau Bali.
Sejarah
Sangat
Sulit untuk mengungkapkan sejarah Pura Lempuyang Luhur yang terletak di
Bukit Gamongan Karangasem itu secara jelas, oleh karena data-data yang
kuat sukar di dapatkan. Kesulitan lain lagi ialah sampai kini belum
dijumpai “Purana” tentang Pura itu yang diharapkan dapat memberikan
keterangan secara jelas.
Sementara
itu baru diperoleh data-data mengenai Pura Lempuyang Luhur yang
sifatnya tidak langsung, ialah keterangan dalam prasasti Sading C type
:Tinulad” dan keterangan yang terdapat dalam lontar Kutarakandha Dewa
Purana Bangsul.
1. Prasasti Sading C
Naskah
turunan prasasti Sading C yang disimpan di Geria Mandhara Munggu, yang
isinya menyebutkan sebagai berikut ” Pada tahun 1072 Caka (1150) bulan
ke-9 hari tanggal 12 bulan paroh terang, wuku julungpujut, ketika hari
itu beliau Paduka Çri Maharaja Jayaçakti, merapatkan seluruh pemimpin
perang. Karena beliau akan pergi ke bali karena disuruh oleh ayahnya
yaitu Sang Hyang Guru yang bertujuan untuk membuat Pura (dharma) disana
di Gunung Lempuyang, terutama sebagai penyelamat bumi bali, diikuti oleh
pendeta Çiwa dan Budha serta mentri besar. Beliau juga disebut Maharaja
Bima, yaitu Çri Bayu atau Çri Jaya atau Çri Gnijayaçakti.”
2. Prasasti Kutarakanda DewaPurana Bangsul
Didalam
Lontar Kutarakanda DewaPurana Bangsul lembar ke 3-5 koleksi Ida Pedande
Gde Pemaron di Gria Mandhara Munggu Badung ada di singgung mengenai
Lempuyang yang kutipannya kira-kira sebagai berikut ” Demikianlah
perkataan Sang Hyang Parameçwara kepada putra beliau para dewa sekalian,
terutama sekali Sang Hyang Gnijayaçakti wahai anaknda, anda-anda para
dewa sekalian, dengarkanlah perkataanku kepdada anda sekalian, hendaknya
anda turun (datang) ke Pulau Bali menjaga pulau Bali, seraya anda
menjadi dewa disana”
Dari kedua sumber tersebut diatas ada dua hal yang penting dapat diambil yaitu : Gunung Lempuyang dan Sang Hyang Gnijaya. Di dalam bahsa Jawa kata Lempuyang berarti “Gamongan” gunung Lempuyang berarti gunung gamongan atau bukit gamongan sebagaimana disebutkan dalam lontar Kusuma Dewa dan sampai sekarang masyarakat sekitar tempat itu menyebutkan bahwa Pura Lempuyang terletak di Bukit Gamongan disebelah timur kota Amlapura.
Dari kedua sumber tersebut diatas ada dua hal yang penting dapat diambil yaitu : Gunung Lempuyang dan Sang Hyang Gnijaya. Di dalam bahsa Jawa kata Lempuyang berarti “Gamongan” gunung Lempuyang berarti gunung gamongan atau bukit gamongan sebagaimana disebutkan dalam lontar Kusuma Dewa dan sampai sekarang masyarakat sekitar tempat itu menyebutkan bahwa Pura Lempuyang terletak di Bukit Gamongan disebelah timur kota Amlapura.
Fungsinya
Menurut
Upadeca, bila dihubungkan dengan “Pura-Pura” Sad Kahyangan di Bali,
maka Pura Lempuyang Luhur adalah termasuk salah satu diantaranya
disamping lima Pura lainnya. Pura Lempuyang Luhur adalah kedudukan Dewa
Içwara dan terletak di ufuk Timur penjuru mata angin di Bali. Hal ini
dapat dihubungkan dengan Dewa Nawa Sanga beserta tempatnya dan
senjatanya masing-masing. Jadi jelaslah bahwa Pura Lempuyang Luhur
adalah sebagai penjaga/pemelihara arah sebelah timur dengan dewa Içwara
sebagai manefestasi Sang Hyang Widhi Wasa.
Adapun
dewa yang dipuja adalah Bethara Agnijaya (Hyang Gnijaya) sebagai
manefestasinya Hyang Widhi, oleh karena Bhtara Agnijaya disejajarkan
fungsi serta peranannya dengan Brahma, Wisnu, Indara dan Shambu maka
dapatlah dimengerti bahwa Bhatara Agnijaya adalah identik dengan Içwara
yaitu Dewa Asthadhipalaka yang berada di penjuru Timur. Nama Sang Hyang
Agnijaya yaitu putra dari Sang Hyang Parameçwara (maksudnya sebagai
manefestasi dari Hyang Widhi) juga ada disebutkan di dalam Lontar
DewaPurana Bangsul. Pura-Pura yang berada di Bukit Gamongan yang ada
hubungannya dengan Pura Lempuyang Luhur adalah Pura Desa Purahayu, Pura
Telaga Mas dan Pura Pasar Agung.
Pengemong
Pengemong
Pura Lempuyang Luhur adalah seluruh anggota”krama Desa” dari desa
Purahayu, sedangkan penyungsungnya adalah segenap masyarakat Bali yang
beragama Hindu dan Masyarakat Hindu di pulau Lombok termasuk umat hindu
di seluruh Indonesia serta masyarakat Tionghoa di Bali.
Piodalan
Upacara
Piodalan Pura Lempuyang Luhur jatuh pada hari kemis Umanis wuku
dungulan yakni setiap enam bulan bali sekali (210 hari). Adapun urutan
upacara piodalan pada Pura Lempuyang Luhur adalah sama dengan upacara
pada Pura Sad Khayangan lainnya.
Pemangku
Pura
Lempuyang luhur mempunyai pemangku tersendiri dan bersifat turun
temurun dari keluarga pemangku menurut garis keturunan patrilinial
dannyatanya.
Suatu
yang menarik dan merupakan keistimewaan adalah didalam Pura Lempuyang
luhur terdapat serumpun bambu jenis kecil. Setelah selesai menghaturkan
bhakti batang pohon bambu itu dipotong oleh pemangku untuk mendapatkan
tirta (disebut tirtha pingit) bagi setiap orang yang pedek tangkil
ngaturang bhakti kesana. Tirta tersebut juga berfungsi sebagai Tritha
Pengenteg-enteg yakni tirtha yang diapaki untuk Ngenteg Linggih baik di
Pura-Pura, mrajan ataupun sanggah. Tetapi anehnya tidak selalu didalam
batang bambu tersebut diketemukan air.
Pura Goa Lawah--
Stana Dewa Maheswara,
Pusat ''Nyegara-Gunung''
Stana Dewa Maheswara,
Pusat ''Nyegara-Gunung''
Dari
ribuan jumlah pura di Bali, beberapa di antaranya berstatus Pura
Khayangan Jagat. Salah satunya Pura Goa Lawah. Pura ini berdiri di
wilayah pertemuan antara pantai dan perbukitan dengan sebuah goa yang
dihuni beribu-ribu kelelawar. Lontar Padma Bhuwana menyebutkan Pura Goa
Lawah merupakan salah satu kayangan jagat/sad kahyangan sebagai sthana
Dewa Maheswara dan Sanghyang Basukih, dengan fungsi sebagai pusat
nyegara-gunung. Bagaimana sejarah pura yang menempati posisi di bagian
tenggara itu?
Pura
Goa Lawah merupakan suatu kawasan yang suci dan indah. Di situ ada
perpaduan antara laut dan gunung (lingga-yoni). Seperti namanya, di pura
ini terdapat goa yang dihuni ribuan kelelawar. Gemuruh riuh suara
kelelawar tiada henti, pagi, siang apalagi malam. Sekejap puluhan,
ratusan bahkan ribuan ekor terbang. Sebentar lagi datang, bergantungan,
bergelayutan, berdesak-desakkan di dinding-dinding karang goa. Terdengar
begitu riuh bagaikan nyanyian alam yang abadi sepanjang masa. Belum
lagi munculnya ular duwe, lelawah (kelelawar) putih, kuning dan brumbun,
menambah suasana makin mistik di Pura yang berada di Desa Pesinggahan,
Dawan, Klungkung itu.
Sementara
di mulut goa terdapat beberapa palinggih stana para Dewa. Di
pelatarannya, juga berdiri kokoh beberapa meru dan sthana lainnya.
Lokasinya
sekitar 20 kilometer di sebelah timur kota Semarapura, Klungkung atau
kurang lebih 59 kilometer dari kota Denpasar. Umat Hindu silih berganti
menghaturkan bhakti dengan berbagai tujuan. Terutama ketika berlangsung
piodalan/pujawali yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali (210 hari)
yakni pada Anggara Kasih Medangsia. Upacara nyejer selam 3 hari dengan
penanggung jawab, pengempon pura yakni Krama Desa Pakraman Pesinggahan.
Di samping juga dilaksanakan aci penyabran yang dilakukan secara rutin
pada hari-hari suci seperti Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, Pagerwesi,
Saraswati, Siwaratri dan lainnya.
Begitu
juga dengan umat Hindu dari seluruh pelosok Bali, setiap harinya ada
saja yang menggelar upacara meajar-ajar atau nyegara-gunung.
Siapa yang membangun Pura Goa Lawah dan kapan dibangun?
Sulit
mengungkap dan membuka secara gamblang misteri itu. Di samping karena
usia bangunan pemujaan tersebut sudah tua, juga jarang ada narasumber
yang benar-benar mengetahui seluk beluk keberadaannya.
Memang,
ada beberapa lontar yang selintas menulis keberadaan Pura Goa Lawah.
Tetapi, sangat jarang yang berani membuka secara jelas dan gamblang,
siapa dan kapan salah satu pura Sad Kahyangan itu dibangun.
Jika
dirunut dari kata goa lawah, secara harfiah sedikit tidaknya dapat
dijelaskan bahwa goa berarti goa (lobang) dan lawah berarti kelelawar.
Jadi goa lawah bisa diartikan goa kelelawar. Dalam beberapa lontar,
sekilas ada yang menyimpulkan secara garis besarnya bahwa pura-pura
besar yang berstatus Kahyangan jagat dan Sad Kahyangan di Bali dibangun
oleh pendeta terkenal, Mpu Kuturan.
Hal
itu terbukti dengan disebutnya Pura Goa Lawah dalam lontar Mpu Kuturan.
Sebagaimana dihimpun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Klungkung yang saat ini tengah mempersiapkan penerbitan buku tentang
''Pura Goa Lawah.'' Dalam rekapan buku yang rencananya dipasupati
bersamaan dengan pujawali di Pura Goa Lawah, 23 Mei mendatang,
diceritakan, Mpu Kuturan datang ke Bali abad X yakni saat pemerintahan
dipimpin Anak Bungsu adik Raja Airlangga. Airlangga sendiri memerintah
di Jawa Timur (1019-1042). Ketika tiba, Mpu Kuturan menemui banyak sekte
di Bali. Melihat kenyataan itu, Mpu Kuturan kemudian mengembangkan
konsep Tri Murti dengan tujuan mempersatukan semua sekte tersebut.
Kedatangan
Mpu Kuturan membawa perubahan yang sangat besar di wilayah ini,
terutama mengajarkan masyarakat Bali tentang cara membuat pemujaan
terhadap Hyang Widhi yang dikenal dengan sebutan kahyangan atau
parahyangan.
Mpu
Kuturan pula yang mengajarkan pembuatan Kahyangan Tiga di setiap desa
pakraman di Bali serta mengukuhkan keberadaan Kahyangan Jagat yang salah
satunya adalah Goa Lawah. Sebagaimana tertulis dalam lontar Usana Dewa,
Mpu Kuturan juga tercatat sebagai perancang bangunan pelinggih di
Pura-Pura seperti gedong dan meru serta arsitektur Bali. Begitu juga
dengan berbagai jenis upacara-upakara dan pedagingan pelinggih. Hal itu
termuat dalam lontar Dewa Tatwa. Mpu Kuturan telah membuat landasan
prikehidupan yang sangat prinsip seperti aturan-aturan ketertiban hidup
bermasyarakat yang diwarisi sampai saat ini dalam bentuk Desa Pakraman.
Di
samping nama Mpu Kuturan, patut juga dicatat perjalanan Danghyang
Dwijendra atau Danghyang Nirartha yang dikenal juga dengan gelar Pedanda
Sakti Wawu Rawuh. Maha pandita ini berada di Bali saat Bali dipimpin
Raja Dalem Waturenggong (1460-1550 Masehi), seorang raja yang sangat
jaya pada masanya dan membawa kejayaan Nusa Bali. Danghyang Nirartha
merupakan seorang pendeta yang melakukan tirthayatra ke seluruh pelosok
Pulau Bali, termasuk juga ke pulau Lombok dan Sumbawa.
Kaitannya
dengan Pura Goa Lawah. Lontar Dwijendra Tatwa menyebutkan perjalanan
Danghyang Nirartha diawali dari Gelgel menuju Kusamba. Tetapi, di
Kusamba Danghyang Nirartha tidak berhenti. Perjalanannya berlanjut
hingga ke Goa Lawah. Saat itulah, Danghyang Nirartha bisa melihat gunung
yang indah. Perjalanan dihentikan. Sang pendeta masuk ke tengah Goa.
Melihat-lihat goa kelelawar yang jumlahnya ribuan. Di puncak gunung goa
itu bunga-bunga bersinar, jatuh berserakan tertiup angin semilir,
bagaikan ikut menambah keindahan perasaan sang pendeta yang baru tiba.
Dari sana beliau memandang Pulau Nusa yang terlihat indah. Lalu
membangun padmasana yang notebena tempat bersthana para dewa.
Pura Goa Lawah awalnya dipelihara dan dijaga Gusti Batan Waringin atas
petunjuk Ida Panataran yang notebene putra dari Ida Tulus Dewa yang
menjadi pemangku di Pura Besakih. Penunjukkan itu mengingat Goa Lawah
memiliki hubungan benang merah dengan Pura Besakih. Pura Goa Lawah
merupakan jalan keluar Ida Bhatara Hyang Basukih dari Gunung Agung
tepatnya di Goa Raja, terutama ketika berkehendak masucian di pantai.
Dalam babad Siddhimantra Tatwa disebutkan ada kisah pertemuan antara
Sanghyang Basukih di kawasan Besakih dengan Danghyang Siddhimantra,
salah seorang keturunan Mpu Bharadah. Sanghyang Basukih yang merupakan
nagaraja, memiliki peraduan di sebuah goa yang berada di bawah Pura Goa
Raja Besakih yang konon tembus ke Goa Lawah. Dalam hubungan ini acapkali
terlihat secara samar sosok seekor naga ke luar dari Pura Goa Lawah,
menyeberang jalan lalu menuju pantai. Orang percaya itulah Sanghyang
Basukih yang berdiam di goa sedang menyucikan diri, mandi ke laut.
Goa
dari Pura Goa Lawah ini, menurut krama Pesinggahan tembus di tiga
tempat masing-masing di Gunung Agung (Goa Raja Besakih), Talibeng dan
Tangkid Bangbang. Ketika Gunung Agung meletus tahun 1963, ada asap
mengepul keluar dari muara goa lawah. Ini suatu bukti Goa Raja Besakih
tembus Goa Lawah.
Jika
menengok ke belakang yakni pada zaman Megalitikum, di mana pada zaman
itu selain menghormati kekuatan gunung sebagai kekuatan alam yang telah
menyatu dengan arwah nenek moyang yang mempunyai kekuatan gaib, juga
menghormati kekuatan laut di samping kekuatan-kekuatan alam lainya,
seperti batu besar, goa, campuhan, kelebutan dan lainnya. Dalam
kehidupan masyarakat Bali yang kental dengan pengaruh dan sentuhan agama
Hindu, pemujaan terhadap kekuatan segara-gunung memang merupakan dresta
tua. Tetapi sampai saat ini masih bertahan dan terus berlanjut. Karena
pada intinya, pemujaan terhadap Dewa Gunung atau Dewa Laut, sesungguhnya
telah mencakup pemujaan kepada kekuatan alam yang notabene penghormatan
yang amat lengkap. Atas dasar itulah, Pura yang awalnya sangat
sederhana itu, kini lebih dikenal sebagai kekuatan alam yang bersatu
dengan kekuatan magis arwah nenek moyang. Laut yang berada di depan
pura, sekarang telah menyatu dengan segala kekuatan yang dihormati dan
dipuja masyarakat guna mendapat ketentraman dan kesejahteraan hidup.
Dari
kilasan di atas, jelas bahwa Pura Goa Lawah memiliki sejarah yang cukup
panjang. Berawal dari pemujaan alam goa kelelawar, gunung dan laut di
zaman Megalitikum, lalu dikembangkan/ditata dan kemudian dibangun
pelinggih-pelinggih sthana para Dewa dan Bhatara oleh Mpu Kuturan abad X
kemudian disempurnakan lagi dengan membangun Padmasana oleh Danghyang
Dwijendra pada abad XIV-XV. Lengkaplah keberadaan Pura Goa Lawah,
seperti yang kita lihat dan warisi sampai sekarang. Namun yang perlu
dicatat, Nyegara-Gunung yang digelar di Pura Goa Lawah, mengandung makna
terima kasih ke hadapan Hyang Widhi dalam manifestasi Girinatha
(pelindung gunung) dan Baruna sebagai penguasa laut, atas pemberian
amerta baik kepada sang Dewa Pitara-jiwa leluhur yang telah suci maupun
kepada sang Yajamana, Sang Tapini dan Sang Adrue Karya. Atas dasar
konsep inilah Umat Hindu memuliakan gunung dan laut sebagai sumber
penghidupan. Memuliakan gunung dan laut bukan berarti umat Hindu
menyembah gunung dan laut, tetapi yang dipuja adalah Hyang Widhi dalam
fungsinya sebagai pelindung gunung dan penguasa laut.
Pura Luhur Uluwatu
Tempat Pemujaan Dewa Rudra
Tempat Pemujaan Dewa Rudra
Pura
Luhur Uluwatu merupakan salah satu dari enam buah pura yang berstatus
Sad Kahyangan Jagat. Pura ini berdiri megah di ujung barat daya Pulau
Bali di atas anjungan batu karang yang terjal dan tinggi serta menjorok
ke laut.
Pura ini berada di wilayah Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, Badung -- dari Denpasar ke selatan sekitar 31 km.
Pura Uluwatu terletak pada ketinggian 97 meter dari permukaan laut. Di
depan pura terdapat hutan kecil yang disebut alas kekeran, berfungsi
sebagai penyangga kesucian pura.
Pura
Uluwatu mempunyai beberapa pura pesanakan, yaitu pura yang erat
kaitannya dengan pura induk. Pura pesanakan itu yaitu Pura Bajurit, Pura
Pererepan, Pura Kulat, Pura Dalem Selonding dan Pura Dalem Pangleburan.
Masing-masing pura ini mempunyai kaitan erat dengan Pura Uluwatu,
terutama pada hari-hari piodalan-nya. Piodalan di Pura Uluwatu, Pura
Bajurit, Pura Pererepan dan Pura Kulat jatuh pada Selasa Kliwon Wuku
Medangsia setiap 210 hari. Manifestasi Tuhan yang dipuja di Pura Uluwatu
adalah Dewa Rudra.
Bagaimana sejarah berdirinya pura ini?
Untuk
bisa sampai pada jabaan pura, kita mesti menaiki anak tangga. Pada
jabaan pura terdapat bangunan sedahan pengapit, bale kulkul, bale murda
dan bale sakenem. Dari jabaan menuju jaba tengah kita melewati candi
bentar berbentuk sayap burung yang melengkung. Untuk mencapai jeroan
pura, kita melewati candi kurung yang memakai dwarapala yang berbentuk
arca Ganesha. Pada utama mandala pura terdapat prasada dan palinggih
berupa Meru Tumpang Tiga, palinggih tajuk, piasan catur pandaka. Pada
bagian kiri dari jabaan Pura Luhur Uluwatu terdapat Pura Dalem Jurit
(Bejurit) terdapat antara lain prasada, tempat moksanya Danghyang
Dwijendra berdampingan dengan monumen berupa dua buah perahu yang
dipakai berlayar sewaktu datang ke Pulau Bali.
Bangunan lain di Pura Dalem Jurit adalah gedong tumpang dua, paibon,
sedahan pengapit dan bale asta rsi. Di sekitar lokasi Pura Luhur Uluwatu
juga dihuni kera
Sejarah Luhur Uluwatu
Dalam
beberapa sumber disebutkan, sekitar tahun 1489 Masehi datanglah ke
Pulau Bali seorang purohita, sastrawan dan rohaniwan bernama Danghyang
Dwijendra. Danghyang Dwijendra adalah seorang pendeta Hindu, kelahiran
Kediri, Jawa Timur.
Danghyang
Dwijendra pada waktu walaka bernama Danghyang Nirartha. Beliau menikahi
seorang putri di Daha, Jawa Timur. Di tempat itu pula beliau berguru
dan di-diksa oleh mertuanya. Danghyang Nirartha dianugerahi bhiseka
kawikon dengan nama Danghyang Dwijendra.
Setelah
di-diksa, Danghyang Dwijendra diberi tugas melaksanakan dharmayatra
sebagai salah satu syarat kawikon. Dharmayatra ini harus dilaksanakan di
Pulau Bali, dengan tambahan tugas yang sangat berat dari mertuanya
yaitu menata kehidupan adat dan agama khususnya di Pulau Bali. Bila
dianggap perlu dharmayatra itu dapat diteruskan ke Pulau Sasak dan
Sumbawa.
Danghyang
Dwijendra datang ke Pulau Bali, pertama kali menginjakkan kakinya di
pinggiran pantai barat daya daerah Jembrana untuk sejenak beristirahat
sebelum melanjutkan perjalanan dharmayatra. Di tempat inilah Danghyang
Dwijendra meninggalkan pemutik (ada juga menyebut pengutik) dengan
tangkai (pati) kayu ancak. Pati kayu ancak itu ternyata hidup dan tumbuh
subur menjadi pohon ancak. Sampai sekarang daun kayu ancak dipergunakan
sebagai kelengkapan banten di Bali. Sebagai peringatan dan penghormatan
terhadap beliau, dibangunlah sebuah pura yang diberi nama Purancak.
Setelah
mengadakan dharmayatra ke Pulau Sasak dan Sumbawa, Danghyang Dwijendra
menuju barat daya ujung selatan Pulau Bali, yaitu pada daerah gersang,
penuh batu yang disebut daerah bebukitan.
Setelah
beberapa saat tinggal di sana, beliau merasa mendapat panggilan dari
Hyang Pencipta untuk segera kembali amoring acintia parama moksha. Di
tempat inilah Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh teringat (icang eling) dengan
samaya (janji) dirinya untuk kembali ke asal-Nya. Itulah sebabnya tempat
kejadian ini disebut Cangeling dan lambat laun menjadi Cengiling sampai
sekarang.
Oleh
karena itulah, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh ngulati (mencari) tempat
yang dianggap aman dan tepat untuk melakukan parama moksha. Oleh karena
dianggap tidak memenuhi syarat, beliau berpindah lagi ke lokasi lain. Di
tempat ini, kemudian dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Kulat.
Nama itu berasal dari kata ngulati. Pura itu berlokasi di Desa Pecatu.
Sambil berjalan untuk mendapatkan lokasi baru yang dianggap memenuhi
syarat untuk parama moksha, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh sangat sedih dan
menangis dalam batinnya. Mengapa? Oleh karena beliau merasa belum rela
untuk meninggalkan dunia sekala ini karena swadharmanya belum dirasakan
tuntas, yaitu menata kehidupan agama Hindu di daerah Sasak dan Sumbawa.
Di tempat beliau mengangis ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi
nama Pura Ngis (asal dari kata tangis). Pura Ngis ini berlokasi di
Banjar Tengah Desa Adat Pecatu.
Ida
Pedanda Sakti Wawu Rauh belum juga menemukan tempat yang dianggap tepat
untuk parama moksha. Beliau kemudian tiba di sebuah tempat yang penuh
batu-batu besar. Beliau merasa hanya sendirian. Di tempat ini, lalu
didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Batu Diyi. Juga di tempat
ini Danghyang Dwijendra merasa kurang aman untuk parama moksha. Dengan
perjalanan yang cukup melelahkan menahan lapar dan dahaga, akhirnya
beliau tiba di daerah bebukitan yang selalu mendapat sinar matahari
terik. Untuk memayungi diri, beliau mengambil sebidang daun kumbang dan
berusaha mendapatkan sumber air minum. Setelah berkeliling tidak
menemukan sumber air minum, akhirnya Danghyang Dwijendra menancapkan
tongkatnya. Maka keluarlah air amertha. Di tempat ini lalu didirikan
sebuah pura yang disebut Pura Payung dengan sumber mata air yang
dipergunakan sarana tirtha sampai sekarang.
Ida
Pedanda Sakti Wawu Rauh kemudian beranjak lagi ke lokasi lain, untuk
menghibur diri sebelum melaksanakan detik-detik kembali ke asal. Di
tempat ini lalu didirikan sebuah pura bernama Pura Selonding yang
berlokasi di Banjar Kangin Desa Adat Pecatu. Setelah puas menghibur
diri, Danghyang Dwijendra merasa lelah. Maka beliau mencari tempat untuk
istirahat. Saking lelahnya sampai-sampai beliau sirep (ketiduran). Di
tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Parerepan
(parerepan artinya pasirepan, tempat penginapan) yang berlokasi di Desa
Pecatu.
Mendekati
detik-detik akhir untuk parama moksha, Danghyang Dwijendra menyucikan
diri dan mulat sarira terlebih dahulu. Di tempat ini sampai sekarang
berdirilah sebuah pura yang disebut Pura Pangleburan yang berlokasi di
Banjar Kauh Desa Adat Pecatu. Setelah menyucikan diri, beliau
melanjutkan perjalanannya menuju lokasi ujung barat daya Pulau Bali.
Tempat ini terdiri atas batu-batu tebing. Apabila diperhatikan dari
bawah permukaan laut, kelihatan saling bertindih, berbentuk kepala
bertengger di atas batu-batu tebing itu, dengan ketinggian antara 50-100
meter dari permukaan laut. Dengan demikian disebut Uluwatu. Ulu
artinya kepala dan watu berarti batu.
Sebelum
Danghyang Dwijendra parama moksha, beliau memanggil juragan perahu yang
pernah membawanya dari Sumbawa ke Pulau Bali. Juragan perahu itu
bernama Ki Pacek Nambangan Perahu. Sang Pandita minta tolong agar
juragan perahu membawa pakaian dan tongkatnya kepada istri beliau yang
keempat di Pasraman Griya Sakti Mas di Banjar Pule, Desa Mas, Ubud,
Gianyar. Pakaian itu berupa jubah sutra berwarna hijau muda serta
tongkat kayu. Setelah Ki Pacek Nambangan Perahu berangkat menuju
Pasraman Danghyang Dwijendra di Mas, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh segera
menuju sebuah batu besar di sebelah timur onggokan batu-batu bekas candi
peninggalan Kerajaan Sri Wira Dalem Kesari. Di atas batu itulah, Ida
Pedanda Sakti Wawu Rauh beryoga mengranasika, laksana keris lepas saking
urangka, hilang tanpa bekas, amoring acintia parama moksha.
Demikianlah,
sejak Danghyang Dwijendra yang disebut juga Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh
parama moksha atau disebut Ngaluhur Uluwatu, pura ini disebut Luhur
Uluwatu.
Pura Luhur Batukaru--
Tempat Stana Dewa Mahadewa atau Hyang Tumuwuh
Tempat Stana Dewa Mahadewa atau Hyang Tumuwuh
Predikat
yang disandang Bali sebagai pulau seribu pura memang tidak terbantahkan
lagi. Sepertinya di setiap jengkal tanah di Bali dapat ditemukan sebuah
pura yang hanya dibedakan oleh status dan fungsinya. Salah satu pura
dari ribuan pura di Bali yakni Pura Luhur Batukaru. Pura ini terletak di
kaki Gunung Batukaru, Desa Wongaya Gede, Penebel, Tabanan. Bagaimana
sejarah pura yang berhawa sejuk itu? Berikut laporan wartawan Bali Post
Asmara Putra yang dirangkum dari berbagai sumber.
----------------------------
Letak
pura yang berjarak 3 kilometer dari Desa Wongaya Gede dan sekitar 22
kilometer dari Kota Tabanan atau 42 kilometer di sebelah barat laut Kota
Denpasar, dapat dijangkau dengan mudah oleh seluruh umat Hindu.
Apalagi, sarana transportasi berupa jalan yang menuju pura dengan
ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini cukup baik. Pura dengan
lingkungan hutan yang sejuk dengan suhu udara berkisar antara 24-32
derajat Celcius (siang hari) dan 18-22 derajat Celsius (malam hari)
memiliki curah hujan yang cukup tinggi yakni rata-rata 1.899 mm per
tahun.
Pura
Luhur Batukaru merupakan salah satu pura dengan status sebagai tempat
pemujaan seluruh umat Hindu atau yang lebih dikenal dengan Kahyangan
Jagat. Pura ini juga menjadi bagian dari Pura Sad Kahyangan di Bali
dengan fungsi sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa dalam
manifestasinya sebagai Dewa Mahadewa. Selain sebagai tempat pemujaan
Hyang Mahadewa, dalam beberapa lontar disebutkan pula Pura Luhur
Batukaru sebagai stana Hyang Tumuwuh.
Pada
saat upacara piodalan/pujawali yang berlangsung setiap enam bulan
sekali atau setiap 210 hari, tepatnya hari Kamis (Whraspati), Umanis,
Dungulan -- sehari setelah hari raya Galungan -- selalu dipadati umat
Hindu dari berbagai pelosok Bali. Belakangan ini, sejak Galungan, umat
sudah banyak yang pedek tangkil ke pura ini. Selama piodalan Ida Bhatara
nyejer hingga tiga hari. Pengempon pura ini terdiri atas desa-desa
pakraman yang berada di sekitarnya yakni Desa Pakraman Wongaya Gede
(empat banjar pakraman -- Wongaya Kaja, Wongaya Kangin, Wongaya Kelod,
dan Bendul), Keloncing, Bengkel, Sandan, Amplas, Batukambing,
Penganggahan dan Tengkudak (Banjar Pakraman Tengkudak dan Den Uma).
Sedangkan pangemong/penanggung jawab pelaksanaan upacara adalah Jro
Kebayan.
Sejarah
Kapan
berdiri dan siapa yang membangun Pura Luhur Batukaru hingga kini belum
diperoleh data secara pasti. Pasalnya, sampai saat ini sumber-sumber
tertulis yang mengungkap keberadaan pura yang terletak di kaki Gunung
Batukaru ini sangat minim. Akibatnya, untuk memperkirakan kapan
didirikannya pura ini harus juga berdasarkan sumber-sumber atau bukti
tak tertulis. Beberapa sumber tak tertulis seperti peninggalan purbakala
yang diperkirakan berasal dari masa tradisi megalitik terdapat di dalam
pura, dijadikan acuan untuk memperkirakan waktu pendirian pura ini.
Dalam
buku ''Pura Luhur Batukaru'' terbitan Dinas Kebudayaan Bali, Oktober
1994, disebutkan A.J. Bernet Kempres pernah melaporkan adanya temuan
berupa menhir di lereng Gunung Batukaru pada ketinggian sekitar 700
meter di atas permukaan laut. Setelah dilakukan penelitian beberapa
waktu lalu, laporan Bernet Kempres tersebut terbukti kebenarannya.
Buktinya?
Di halaman dalam (jeroan) terdapat beberapa menhir dan onggokan batu.
Onggokan batu yang dimaksudkan tersebut, oleh krama pangempon Pura Luhur
Batukaru disebut Palinggih Kampuh. Dalam buku setebal 92 halaman
tersebut juga ditulis bahwa Palinggih Kampuh itu merupakan medium
pemujaan roh suci golongan Kebayan/Kubayan yang telah berjasa bagi
masyarakat setempat.
Pada
zaman megalitik, segala bidang kehidupan masyarakat berpusat pada
penghormatan dan pemujaan arwah nenek moyang atau arwah pemimpin yang
disegani. Kepercayaan kepada roh leluhur umum pada saat itu. Masyarakat
percaya bahwa arwah roh leluhur itu berdiam di puncak gunung dan bukit
yang memiliki kekuatan gaib yang diyakini dapat menolak bahaya dan
memberikan kesejahteraan. Agar kesejahteraan tersebut bisa terpelihara
dengan baik maka hubungan dengan dunia arwah dijaga dengan baik, salah
satunya dengan mendirikan bangunan-bangunan megalitik seperti menhir
sebagaimana yang dijumpai di Pura Luhur Batukaru.
Minim
Sementara
untuk bukti tertulis -- prasasti dan purana -- mengenai keberadaan Pura
Luhur Batukaru sangat minim. Bahkan, purana yang secara khusus mengupas
keberadaan pura yang memiliki hawa sejuk ini sama sekali tidak
ditemukan. Namun, ada beberapa sumber tertulis yang memuat secara
selintas keberadaan Pura Luhur Batukaru ini, baik berupa lontar maupun
sumber kepurbakalaan lainnya.
Ketut
Soebandi dalam bukunya "Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali"
menyebutkan, lontar-lontar yang memuat secara selintas keberadaan pura
ini antara lain Babad Pasek, Usana Bali, Babad Pasek Toh Jiwa, serta
Babad Buleleng. Sedangkan dalam buku "Pura Luhur Batukaru" menyebutkan
beberapa lontar lainnya, seperti Raja Purana Gajah Mada, Padma Bhuwana,
Kusuma Dewa, Sang Kulputih, Babad Pasek Kayu Selem, Widisastra, Empu
Kuturan, Dewa Purana Bangsul, juga memuat sekilas tentang keberadaan
pura ini. Dalam hubungannya dengan sejarah pendirian pura ini, pada
lontar-lontar disebutkan Pura Luhur Batukaru didirikan oleh Mpu Kuturan
atau Mpu Rajakretha, sebagaimana tertulis dalam lontar Usana Bali.
Sementara
mengenai data kepurbakalaan, di Pura Luhur Batukaru terdapat
peninggalan berupa arca, candi, serta beberapa pusaka, seperti tombak.
Sebuah arca kuno juga ditemukan di pura ini, yakni di Beji. Arca seperti
ini juga ditemukan di Pura Tegeh Koripan di Gunung Penulisan,
Kintamani.
Melihat
coraknya, arca semacam itu diperkirakan merupakan peninggalan periode
Bali Kuno sekitar abad X-XII. Melihat hasil-hasil temuan itu, dan dipadu
dengan sumber-sumber tertulis lainnya, Pura Luhur Batukaru ini dapat
diduga berdiri pada abad XI. ''Jadi berdasarkan data epigrafis tersebut,
dapat memberikan petunjuk bahwa Pura Luhur Batukaru dibangun pada zaman
pemerintahan Raja Cri Masula-Masuli berkuasa di Bali,'' tulis I Ketut
Soebandi.
Pura Pusering Jagat-----------
Pusat Dunia, ''Sthana'' Dewa Siwa
Apabila
ada yang bertanya di manakah pusat dunia? Boleh jadi kita akan
mengernyitkan dahi sebagai reaksi ketidaktahuan. Namun, jika pertanyaan
itu ditujukan kepada warga Gianyar -- khususnya mereka yang bermukim di
kawasan Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring -- bisa jadi mereka akan
menjawab dengan kompak seraya menyebutkan kata Pejeng. Jika pertanyaan
itu diteruskan, di Desa Pejeng bagian mana? Mereka pun menjawab dengan
pasti, Pura Pusering Jagat. Sebuah jawaban yang cukup masuk akal.
Setidaknya, jika memaknai penamaan pura itu secara harfiah. Sebab, puser
itu berarti pusat. Sementara jagat berarti dunia. Keyakinan Pura
Pusering Jagat sebagai pusat dunia itulah yang tertanam dari masa ke
masa, dari generasi ke generasi.
Kenyakinan
Pura Pusering Jagat sebagai pusat dunia juga dilontarkan Wakil Bendesa
Pakraman Pejeng Tjokorda Gde Putra Pemayun, S.H. Kendati begitu, tokoh
masyarakat Pejeng yang juga Kabag Pemerintahan Setda Kabupaten Gianyar
ini tidak ingin hal itu diperdebatkan. Satu hal yang pasti, Pura
Pusering Jagat itu merupakan salah satu pura penting di Bali. Pura yang
oleh masyarakat setempat juga disebut Pura Kelod ini memiliki status
sebagai pura kahyangan jagat dalam kedudukannya sebagai sad kahyangan
atau kahyangan jagat yang diklasifikasikan sebagai Pura-pura Padma
Bhuwana yang berposisi di tengah sebagai sthana Dewa Siwa.
Pusat Kerajaan
Sejak awal peradaban, kata Putra Pemayun, Pejeng sudah jadi kawasan hunian dan terpilih sebagai pusat Kerajaan Bali Kuna. Diperkirakan, kata Pejeng berasal dari kata pajeng (payung) yang bisa dimaknai sebagai memayungi atau mengayomi. Penamaan itu terasa pas mengingat dari berbagai tinjauan dan kajian aspek-aspek kebenaran sejarah, teosofi dan teologi, Desa Pejeng merupakan pusat Kerajaan Bali Kuno yang secara otomatis pusat kerajaan itu memayungi masyarakat dan daerahnya. Namun, katanya, ada juga yang menduga kata Pejeng berasal dari kata pajang (bahasa Jawa Kuna) yang berarti sinar. ''Jika hal itu dikaitkan dengan Pejeng sebagai pusat kekuasaan, itu sangat pas untuk menggambarkan kedudukan Pejeng yang menyinari masyarakat dan kawasannya. Lebih-lebih jika hal itu dikaitkan dengan keberadaan ''bulan'' Pejeng (nekara perunggu) di Pura Penataran Sasih yang juga berlokasi di Desa Pejeng,'' katanya seraya mengutip sejumlah referensi sejarah yang memuat tentang Pejeng.
Sejak awal peradaban, kata Putra Pemayun, Pejeng sudah jadi kawasan hunian dan terpilih sebagai pusat Kerajaan Bali Kuna. Diperkirakan, kata Pejeng berasal dari kata pajeng (payung) yang bisa dimaknai sebagai memayungi atau mengayomi. Penamaan itu terasa pas mengingat dari berbagai tinjauan dan kajian aspek-aspek kebenaran sejarah, teosofi dan teologi, Desa Pejeng merupakan pusat Kerajaan Bali Kuno yang secara otomatis pusat kerajaan itu memayungi masyarakat dan daerahnya. Namun, katanya, ada juga yang menduga kata Pejeng berasal dari kata pajang (bahasa Jawa Kuna) yang berarti sinar. ''Jika hal itu dikaitkan dengan Pejeng sebagai pusat kekuasaan, itu sangat pas untuk menggambarkan kedudukan Pejeng yang menyinari masyarakat dan kawasannya. Lebih-lebih jika hal itu dikaitkan dengan keberadaan ''bulan'' Pejeng (nekara perunggu) di Pura Penataran Sasih yang juga berlokasi di Desa Pejeng,'' katanya seraya mengutip sejumlah referensi sejarah yang memuat tentang Pejeng.
Lantas,
bagaimana kedudukan Pura Pusering Jagat pada masa Kerajaan Bali Kuna
lampau? Menurut Putra Pemayun, pura yang berlokasi di ketinggian 800
meter di atas permukaan laut ini bukan mustahil merupakan satu palebahan
pura milik raja-raja Bali Kuno. Dengan kata lain, di pura inilah pusat
ritual kekuasaan digulirkan. ''Posisi pura ini memang sentris terhadap
wilayah Bali sebagai sebuah pulau,'' katanya.
Seperti
termuat dalam lontar-lontar, katanya, Pura Pusering Jagat juga dikenal
sebagai Pura Pusering Tasik atau pusatnya lautan. Penamaan itu akan
mengingatkan masyarakat Hindu kepada cerita Adi Parwa yang mengisahkan
perjuangan para dewa dalam mencari tirtha amertha (air kehidupan-red) di
tengah lautan susu Ksirarnawa. Secara fisik, di kompleks Pura Pusering
Jagat ini memang ada kolam maya yang berlokasi di hadapan arca utama di
jeroan (halaman dalam) pura yang mengingatkan kita pada pengadukan
Ksirarnawa oleh para dewa dan raksasa. ''Besar kemungkinan, nama
Pusering Tasik itu muncul dari sana,'' ujar Putra Pemayun.
Bercirikan Siwa
Putra
Pemayun menambahkan, masyarakat Bali menyakini Pura Pusering Jagat
merupakan sthana-nya Dewa Siwa. Keyakinan yang tidak mengada-ada
mengingat cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa pura ini merupakan
tempat pemujaan Sang Hyang Siwa. Hal itu terlihat dari peninggalan
arca-arca yang tersimpan di pura ini yang bercirikan Siwa seperti arca
Ganesha (putra Siwa), Durga (sakti Siwa) maupun arca-arca bhairawa.
Salah satu kekhususan yang dijumpai di pura ini adalah adanya palinggih
Ratu Purus dengan arca kelamin laki-laki dan perempuan. ''Fakta-fakta
itu sangat sesuai dengan apa yang tertera dalam lontar-lontar yang
menyatakan pura ini merupakan pura Padma Bhuana yang berkedudukan di
tengah sebagai sthana Dewa Siwa,'' tegasnya.
Ditambahkannya,
keberadaan Pura Pusering Jagat sebagai salah satu pura yang memiliki
nilai sejarah yang sangat penting dalam perjalanan sejarah Bali di masa
lampau tidak bisa diragukan lagi. Di kompleks pura ini ditemukan
berbagai bukti-bukti kepurbakalaan yang terdiri atas sejumlah
peninggalan seni arca dan unsur-unsur kebudayaan prasejarah. Adapun
unsur-unsur kebudayaan prasejarah itu tercermin dari peninggalan susunan
batu alam, batu titi ugal-agil, batu monolit, sejumlah arca dalam sikap
jongkok dan fragmen lumpang batu.
Sementara
seni arca yang dijumpai di pura ini dapat dikelompokkan ke dalam dua
kelompok. Yakni, kelompok arca dewa yang merupakan perlambang dewa
tertentu dengan atributnya masing-masing dan arca pratisha (perwujudan)
yang merupakan perwujudan leluhur dengan pakaian dan perhiasan seperti
arca dewa. Tetapi tidak mempunyai atribut yang dapat dihubungkan dengan
arca dewa tertentu. Adapun ciri dari arca leluhur yang biasa digunakan
adalah bunga kuncup atau mekar yang dipegang dan terkadang diganti
dengan buah atau benda yang bulat lonjong.
Sejumlah
arca penting yang pantas dikedepankan, katanya, adalah arca pancuran
utama yang terbuat dari batu padas yang berlokasi di bagian timur laut
kompleks pura. Arca berwujud tokoh manusia yang berdiri di atas lapik
berbentuk bulat ini juga disebut angga tirtha. Kedua tangan arca
memegang jaladwara (saluran air) yang keluar dari pusar. Barangkali,
nama Pusering Jagat ini tidak terlepas dari keberadaan arca setinggi 180
cm itu. Di kompleks pura ini juga dijumpai sangku sudamala yang berupa
bejana terbuat dari batu padas, arca Durga Mahissasuramardhini, empat
arca Ganesha yang ditempatkan di sejumlah palinggih, dua buah arca
Caturkaya (memiliki empat muka dan empat badan), dua buah arca
perwujudan, empat buah arca jongkok dan masing-masing satu arca raksasa,
arca penjaga dan arca singa. Tak kalah menariknya, di pura ini juga
ditemukan sepasang arca kelamin yang ditempatkan di jajaran palinggih
utama di jeroan tengah pura. Arca phalus-vulva (kelamin laki-laki dan
perempuan-red) ini dijaga oleh dua arca jongkok dengan kaki disilangkan.
''Pembuatan arca phalus-vulva ini menyiratkan makna simbolis yang
sangat dalam. Pembuatannya dimaksudkan untuk memenuhi fungsi-fungsi
sebagai media pemujaan, simbol kesuburan dan penciptaan dunia juga
simbol untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan, kesuburan tanaman
dan juga penolak bala,'' papar Putra Pemayun panjang lebar.
Ditambahkan,
pangempon Pura Pusering Jagat terdiri atas dua kelompok yakni pangempon
dan penanga. Pengempon terdiri atas empat banjar -- Banjar Intaran,
Banjar Pande, Banjar Puseh dan Banjar Guliang. Sedangkan penanga
sebanyak 137 KK yang berasal dari Desa Adat Jero Kuta dan sekitar 100 KK
berasal dari luar Jero Kuta seperti Pejeng Kangin dan Pejeng Kelod.
Namun, katanya, pada saat piodalan besar sebanyak 14 desa adat lainnya
di Pejeng juga ikut ngempon pura ini. Keempat belas desa adat meliputi
Desa Adat Panglan, Belusung, Tarukan, Umahanyar, Melayang, Sawagunung,
Kelusu, Patemon, Tri Eka Cita, Umakuta, Umadawa, Cagaan, Tegalsaat dan
Tatiapi. Adapun upacara yang diselenggarakan di pura ini berupa aci
panyabran, aci piodalan/padudusan alit dan aci piodalan/padudusan agung.
Dikatakan, padudusan alit diselenggarakan setiap 210 hari bertepatan
dengan Anggara Kasih Wara Medangsia dan padudusan agung digelar setiap
satu tahun sekali bertepatan dengan Purnamaning Karo yang bisanya jatuh
sekitar Agustus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar