Jar/Rice Cooker
Sesuai
dengan sifat agama Hindu yang “sanatana”, maka perubahan atau
perkembangan apapun yang terjadi pada setiap zaman, praktek keagamaan
umat Hindu akan selalu dapat beradaptasi. Apalagi jika berkaitan dengan
hal-hal yang bersifat materi/kebendaan, ajaran agama Hindu tidak
diterapkan secara kaku. Sepanjang tetap berpijak pada esensi yang hakiki
dari ajaran agama Hindu, apapun benduk perubahan yang berhubungan
dengan “kulit luar”, dapat diterima dan dibenarkan. Sesungguhnya hanya
menyangkut soal “waktu” dan “etika”.
Sebelum munculnya alat masak/penghangat makanan seperti rise cooker dan juga magic jar, secara konvesional setiap keluarga Hindu akan menghaturkan “banten saiban” begitu selesai menanak nasi dan memasak sayur plus lauk. Apa yang tadinya ditanak dan dimasak umumnya akan habis untuk keperluan mengisi perut hari itu juga (tidak ada yang disisakan/disimpan). Esoknya begitu lagi dan selalu berhubungan dengan waktu : pagi masak, malam habis. Sekarang dengan adanya rice cooker dan majic jar, persoalan waktu menjadi fleksibel. Karena makanan (terutama nasi dan lauk) akan menjadi terus panas (seolah baru selesai dimasak). Bahkan bisa tetap panas selama dikehendaki (2 atau 3 hari). Selama makanan itu masih ada dan tersedia di rice cooker dan magic jar, maka kegiatan menanak dan memasak tidak lagi dilakukan. Padahal “mebanten saiban” secara tradisi dilakukan pada pagi hari setelah selesai memasak.
Maka, dari persoalan waktu merembet kepada masalah etika. Etiskah kita menghaturkan makanan (nasi dan sedikit lauk) kepada Ida Bhatara, yang dalam kurun waktu 2 atau 3 hari juga turut kita nikmati? Bukankah itu namanya “carikan/lungsuran”? kalau memang dengan teknik “campur baur” artinya untuk menghaturkan dan dimakan sama saja, diambil diaduk ditempat yang sama, jelas tidak etis dan juga tidak dibenarkan. Orang tua kita selalu menasehati “sing dadi nyecel ajengan” (tidak boleh mengaduk-ngaduk makanan), apalagi untuk kepentingan “banten”. Untuk itu, teknik yang dapat digunakan untuk tidak “melanggar” etika, adalah dengan cara menempatkan sebagian dari makanan (nasi dan lauk) pada wadah tersendiri (rantang, mangkok, atau plastik) lalu ditauruh kembali di rice cooker atau magic jar yang sama. Kemudian setiap pagi sebelum sarapan, digunakan untuk “banten saiban”. Dengan begitu persoalan “waktu” dan “etika” dapat dinetrallisir alias tidak lagi menimbulkan perasaan “tidak enak”. Dan, sebagaimana disuratkan didalam kitab suci Bhagavadgita, (III.13 dengan memakan sisa yajna itulah kita akan dapat terlepas dari segala dosa. Sebaliknya ia yang hanya memasak makanan untuk dirinya sendiri, sesungguhnya ia makan dosa.
Sebelum munculnya alat masak/penghangat makanan seperti rise cooker dan juga magic jar, secara konvesional setiap keluarga Hindu akan menghaturkan “banten saiban” begitu selesai menanak nasi dan memasak sayur plus lauk. Apa yang tadinya ditanak dan dimasak umumnya akan habis untuk keperluan mengisi perut hari itu juga (tidak ada yang disisakan/disimpan). Esoknya begitu lagi dan selalu berhubungan dengan waktu : pagi masak, malam habis. Sekarang dengan adanya rice cooker dan majic jar, persoalan waktu menjadi fleksibel. Karena makanan (terutama nasi dan lauk) akan menjadi terus panas (seolah baru selesai dimasak). Bahkan bisa tetap panas selama dikehendaki (2 atau 3 hari). Selama makanan itu masih ada dan tersedia di rice cooker dan magic jar, maka kegiatan menanak dan memasak tidak lagi dilakukan. Padahal “mebanten saiban” secara tradisi dilakukan pada pagi hari setelah selesai memasak.
Maka, dari persoalan waktu merembet kepada masalah etika. Etiskah kita menghaturkan makanan (nasi dan sedikit lauk) kepada Ida Bhatara, yang dalam kurun waktu 2 atau 3 hari juga turut kita nikmati? Bukankah itu namanya “carikan/lungsuran”? kalau memang dengan teknik “campur baur” artinya untuk menghaturkan dan dimakan sama saja, diambil diaduk ditempat yang sama, jelas tidak etis dan juga tidak dibenarkan. Orang tua kita selalu menasehati “sing dadi nyecel ajengan” (tidak boleh mengaduk-ngaduk makanan), apalagi untuk kepentingan “banten”. Untuk itu, teknik yang dapat digunakan untuk tidak “melanggar” etika, adalah dengan cara menempatkan sebagian dari makanan (nasi dan lauk) pada wadah tersendiri (rantang, mangkok, atau plastik) lalu ditauruh kembali di rice cooker atau magic jar yang sama. Kemudian setiap pagi sebelum sarapan, digunakan untuk “banten saiban”. Dengan begitu persoalan “waktu” dan “etika” dapat dinetrallisir alias tidak lagi menimbulkan perasaan “tidak enak”. Dan, sebagaimana disuratkan didalam kitab suci Bhagavadgita, (III.13 dengan memakan sisa yajna itulah kita akan dapat terlepas dari segala dosa. Sebaliknya ia yang hanya memasak makanan untuk dirinya sendiri, sesungguhnya ia makan dosa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar